Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Hikmahanto Juwana menilai kesalahan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan tidak dapat dipidana.
"Bila kebijakan serta keputusan dianggap salah dan pelakunya dapat dipidana, maka ini berarti kesalahan dari pengambil kebijakan serta keputusan merupakan suatu perbuatan jahat (tindak pidana). Ini tentu tidak benar. Pada prinsipnya, kesalahan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan tidak dapat dipidana," katanya di Jakarta, Selasa.
Menurutnya, dalam ilmu hukum, bila berbicara tentang kebijakan, keputusan berikut para pelakunya maka akan masuk dalam ranah hukum administrasi negara yang harus dibedakan dari hukum pidana yang mengatur sanksi pidana atas perbuatan jahat.
"Dalam hukum administrasi negara tidak dikenal sanksi pidana," katanya.
Sanksi yang dikenal dalam hukum administrasi negara, lanjut Hikmahanto, antara lain teguran baik lisan maupun tertulis, penurunan pangkat, demosi dan pembebasan dari jabatan, bahkan diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan.
Namun demikian, katanya, terhadap prinsip umum bahwa kebijakan serta keputusan yang salah tidak dapat dikenakan sanksi pidana, terdapat setidaknya tiga pengecualian.
Pengecualian pertama, katanya, adalah kebijakan serta keputusan dari pejabat yang bermotifkan melakukan kejahatan internasional atau dalam konteks Indonesia diistilahkan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Doktrin hukum internasional yang telah diadopsi dalam peraturan perundang-undangan di sejumlah negara, kata Hikmahanto, kebijakan pemerintah yang bertujuan melakukan kejahatan internasional telah dikriminalkan.
"Ada empat katagori kejahatan internasional yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan perang agresi," katanya.
Pengecualian kedua, meski anomali, kesalahan dalam pengambil kebijakan serta keputusan yang secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
"Sebagai contoh di Indonesia adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 165 Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ketentuan tersebut memungkinkan pejabat yang mengeluarkan izin di bidang pertambangan dikenakan sanksi pidana," katanya.
Sedangkan pengecualian ketiga, kata Hikmahanto, adalah kebijakan serta keputusan yang bersifat koruptif atau pengambil kebijakan dalam mengambil kebijakan serta keputusan bermotifkan kejahatan.
"Di sini yang dianggap sebagai perbuatan jahat bukanlah kebijakannya, melainkan niat jahat dari pengambil kebijakan serta keputusan ketika membuat kebijakan," ujarnya.
Ia mencontohkan, pejabat yang membuat kebijakan serta keputusan untuk menyuap pejabat publik lainnya, atau kebijakan yang diambil oleh pejabat karena ada motif untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
"Dalam contoh terakhir itulah, sejumlah anggota Panitia Angket Bank Century berpijak. Tindakan ini dapat dipahami karena mereka hendak memvalidasi kecurigaan publik bahwa kebijakan yang diambil berindikasi koruptif atau memperkaya orang lain, termasuk partai politik tertentu," katanya.
Namun bila indikasi ke arah tersebut tidak ada, tegas Hikmahanto, jangan kemudian kebijakan serta keputusan yang dianggap salah pasca dievaluasi dipaksakan untuk dikenakan sanksi pidana.(*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010
kan kalau kita ingin melakukan sesuatu harus mempunyai rencana yang matang dan harus mempunyai rencana cadangan bilamana rencana pertama tidak berjalan dengan maksimal…saya ingin memberi contoh mengenai kebijakan pemerintah yang menyianyiakan keuangan negara,,,seperti pembangunan jalan tol yang berada di sepanjang jalan kali malang ..kalau seperti itu bagaimana ya…apakah pemerintah dapat dikatakan bersalah karena telah menyianyiakan keuangan negara karena..proyek tersebut tidak berjalah bahkan dapat dikatakan gagal..