simplifikasi tarif cukai kelak bisa berimbas pada pembentukan monopoli usaha, serta pengendalian harga rokok di masa mendatang oleh perusahaan-perusahaan golongan I.

Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mengkhawatirkan kebijakan simplifikasi tarif layer untuk cukai hasil tembakau (CHT) oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan berpotensi mengganggu serapan tembakau lokal dan merugikan petani.

"Pabrikan kecil dan menengah akan mati, tidak mampu melanjutkan produksinya. Otomatis pembelian bahan baku ke petani akan tersendat. Bisa juga, tembakau nasional dibeli dengan harga semurah-murahnya," kata Ketua APTI Jawa Barat Suryana dalam pernyataan di Jakarta, Senin.

Suryana juga memprediksi pemetaan industri tembakau ke depan dan mengkhawatirkan akan terjadi praktik monopoli di industri tembakau.

"Pabrikan kecil akan kalah bersaing di market sehingga tidak mampu untuk mengejar ke golongan I dan II. Sekarang kan sudah oligopoli, kalau nanti diberlakukan akan terjadi monopoli," ujar Suryana.

Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo mengatakan aturan simplifikasi tarif cukai dan penggabungan volume produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) sudah sering dibahas oleh para ekonom di kalangan regulator, namun pihaknya menilai belum ada dampak positif yang akan dirasakan oleh perusahaan golongan II dan III atau kecil menengah.

"Menimbang dampak negatif ke tenaga kerja dan komoditas tembakau, karenanya kami minta dilakukan penundaan saat itu, karena dampaknya bisa dirasakan bertahap kepada pengangguran. Prediksi kami kalau tetap dilanjut, sentra-sentra tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah seperti Kudus dan Malang akan habis," ujar Firman.

Firman juga menambahkan simplifikasi tarif cukai kelak bisa berimbas pada pembentukan monopoli usaha, serta pengendalian harga rokok di masa mendatang oleh perusahaan-perusahaan golongan I.

"Dugaan saya akan oligopoli ini, lambat laun akan mengarah ke monopoli. Karena pabrikan rokok yang berada di golongan bawahnya tidak akan mampu melawan pabrikan raksasa," ujarnya.

Baca juga: Ekonom: Layer cukai cegah pabrikan besar beradu dengan pabrikan kecil

Secara historis, struktur cukai di Indonesia sudah mengalami penyederhanaan dalam 10 tahun terakhir, dari 19 layer pada 2011 menjadi hanya 10 layer pada 2018. Dalam periode tersebut, tercatat perusahaan-perusahaan rokok di golongan I terbukti mampu mempertahankan pangsa pasar dan pendapatannya di saat ratusan perusahaan rokok kecil dan menengah kewalahan mempertahankan bisnis sebagai dampak dari aturan tersebut.

Berdasarkan laporan keuangan 2019, meski pangsa pasar Sampoerna sempat mengalami penurunan tipis tahun lalu, yaitu 33,4 persen (2017), 33,5 persen (2018), dan 32,2 persen (2019), produsen ini tetap menjadi pemimpin pasar dalam satu dekade terakhir.

Regulasi tembakau terus dalam pembahasan aktif di tahun ini. Diawali dari pemberlakuan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) dan CHT di awal tahun, disusul dengan dimasukkannya penyederhanaan tarif cukai rokok dalam rencana strategis Kementerian Keuangan sebagai bagian dari reformasi fiskal yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01.2020 tentang Rancangan Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.

Baca juga: Pemerintah targetkan penerimaan perpajakan 2021 tumbuh 5,5 persen

Cukai hasil tembakau (CHT) masih menjadi salah satu sumber andalan penerimaan negara karena kontribusinya 95 persen setiap tahun terhadap target cukai, dan 9-10 persen setiap tahun terhadap total keseluruhan penerimaan negara dalam APBN.

Untuk 2021, seperti yang tercantum dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara, pemerintah akan menargetkan penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp172,75 triliun. Cukai hasil tembakau masih menjadi andalan penerimaan cukai pemerintah dengan target kontribusi sebesar 96,8 persen dari total penerimaan cukai sebesar Rp178,47 triliun.

Namun, pendapatan CHT ini berbanding terbalik dengan jumlah produksi rokok dan jumlah pabrikan yang terus menurun setiap tahunnya. Produksi rokok tercatat menurun berturut-turut dalam tiga tahun terakhir, mulai dari 341.73 miliar batang (2016), 336 miliar batang (2017), dan 332 miliar batang (2018).

Baca juga: Peneliti: petani tembakau butuh perhatian pemerintah

Sementara itu dari pabrikan, berdasarkan data Direktorat Jendral Bea Cukai, tercatat ada penurunan jumlah dari 1.540 pabrik (2011) menjadi 487 pabrik (2017). Penurunan tersebut salah satunya disumbang oleh beragam kebijakan mulai dari penyederhanaan struktur tarif, kenaikan tarif cukai, dan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE).

Hal tersebut semakin dikeluhkan oleh pabrikan kecil menengah karena imbas dari setiap regulasi disahkan, kelompok ini harus menyesuaikan lagi harga jual, tenaga kerja, dan beban-beban operasional lainnya.

Akhirnya, lanjut Firman, produsen kecil dan menengah ini pun kian merugi hingga terpaksa gulung tikar. Hal tersebut turut berimbas ke petani tembakau karena serapan tembakau ikut berkurang. Oleh karena itu ia berharap pemerintah dapat melihat dampak jika aturan ini diterapkan, imbasnya akan terasa mulai dari petani sampai ke pemain kelas dua (menengah) dan kelas tiga tadi (kecil).

"Karena ini, kami meminta pemerintah bersedia meninjau kembali aturan simplifikasi cukai, karena jika aturan ini diterapkan, yang dapat berkembang adalah industri besar yang sudah menerapkan mekanisasi," ujar Firman.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020