Implementasi teknologi UCG diharapkan akan berkontribusi dalam menambah ketersediaan energi, konservasi sumberdaya alam dan pengurangan biaya energi.
Jakarta (ANTARA) - Teknologi Gasifikasi Batu Bara Bawah Permukaan atau Underground Coal Gasification (UCG) yang sedang dikembangkan oleh Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batu Bara (Puslitbang tekMIRA) Kementerian ESDM mulai dilirik oleh Kementerian Batu Bara (Ministry of Coal) India.
"Peeyush Kumar selaku Direktur Teknologi Kementerian Batubara India meminta Tekmira untuk berkolaborasi dengan melakukan supervisi pengembangan serta uji coba UCG di dua lokasi di daerah West Bengal dan Rahigajt," seperti dikutip Antara, Jakarta, Senin, melalui akun resmi Instagram @blu.tekmira.
Implementasi teknologi UCG diharapkan akan berkontribusi dalam menambah ketersediaan energi, konservasi sumberdaya alam dan pengurangan biaya energi.
Baca juga: Harga Batubara Acuan turun lagi, jadi 49,42 dolar per September
Teknologi ini dinilai cocok untuk diterapkan di Indonesia maupun India. Apalagi kedua negara tersebut mempunyai kesamaan dalam proporsi cadangan energi fosil yaitu mempunyai cadangan batubara jauh lebih besar dibandingkan cadangan minyak dan gas.
Untuk menindaklanjuti kerja sama ini, Tekmira akan melakukan evaluasi dan membuat tahapan pengembangan UCG setelah Kementerian Batubara India mengirimkan data-data geologi terkait rencana lokasi UCG.
Metode teknologi UCG dengan melakukan proses gasifikasi di bawah tanah melalui dua buah sumur bor. Satu sumur berfungsi sebagai media untuk injeksi udara/oksigen dan yang satu lagi berfungsi sebagai sumur produksi. Teknologi ini dapat mengurangi permasalahan lingkungan, mengoptimalkan pemanfaatan batubara yang tidak ekonomis dan sangat memungkinkan untuk menutupi kekurangan pasokan energi yang berasal dari minyak dan gas bumi (migas).
Detailnya, teknologi ini akan mengekstrak dan mengkonversikan batubara di bawah permukaan menjadi synthesis gas (Syngas) secara insitu.Teknologi unkonvensional ini tidak memerlukan penggalian batuan penutup dan lapisan batubara terlebih dahulu.
Baca juga: Anggota DPR ingin izin perpanjangan pertambangan batubara ditunda
Selain dapat dimanfatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik, teknologi non-konvensional ini juga menghasilkan syngas untuk berbagai keperluan seperti bahan kimia industri petrokimia (amonia, methanol, dan sebagainya) dan pembuatan BBM/BBG sintentis dan bahan kimia industri. UCG juga menghasilkan karbondioksida (CO2) sebagai bahan enhance oil recovery (EOR) untuk meningkatkan produksi minyak nasional. UCG. Biaya produksi syngas UCG lebih murah dibandingkan impor LNG.
Teknologi UCG membantu perusahaan batubara dalam menggunakan batubara lapisan dalam, yang secara ekonomi tidak layak ditambang. Biaya modal dan operasionalnya lebih rendah dibandingkan gasifikasi batubara di permukaan. Perusahaan pun dapat mengurangi dampak lingkungan serta biaya reklamasi dan pascapenambagan karena tidak merubah bentang alam.
Sebagai informasi, Puslitbang Tekmira telah melakukan uji coba di Sumatera Selatan dan pada tahun 2019 melakukan pra-fs implementasi tekniologi UCG di Kalimantan Timur. Kajian ini meliputi unsur geologi, hidrologi, hidrogeologi, geoteknik dan keekonomian, hingga nilai cadangan batu bara. Kajian dilanjutkan tahun ini dengan melakukan konstruksi delapan sumur pemantauan air tanah dan diharapkan pada tahun 2023 fasilitas UCG komersial pertama di Indonesia beroperasi.
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020