32 pasal itu merupakan delik pers sebagai bentuk ancaman tindakan pidana yang berhubungan dengan pers, katanya saat menjadi pemakalah dalam "Pelatihan Hukum Pers Untuk Jurnalis" digelar Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Indonesia, di Padang, Sabtu.
Menurut dia, pada dasarnya terminologi delik pers bukan terminologi hukum namun dalam parkteknya muncul karena diperkenalkannya pasl 61 dan pasar 62 KUHP, tambahnya.
Ia menjelasan, dua pasal itu mengatur kejahatan yang dilakukan dengan percetakan atau penerbitan.
Jadi, tambahnya, delik pers muncul pertama kali pada pasal 61 dan 62 tersebut tentang ancaman kejahatan percetakan dan dinilai sebagai pintu masuk munculnya delik pers tersebut.
Pasal-pasal lain dalam KUHP yang bisa menjerat pers adalah pada BAB XVI KUHP, mulai dari Pasal 310 sampai 321 yang mengatur delik penghinaan yang terdiri dari, pencemaran, pencematan tertulis dan fitnah.
Selain pasal-pasal KUHP itu, juga terdapat ancaman bagi kebebasan pers pada UU No.1/1946 tentang keadaan bahaya, dimana pada Pasal 14 ayat (1) menyebutkan, barang siapa dengans sengaja menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tinggi 10 tahun.
Kemudian, UU No11/2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) juga menjadi ancaman kebebasan pers yakni pada Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (3), tambah Hendrayana.
"Pelatihan Hukum Pers Untuk Jurnalis" diikuti 36 jurnalis Sumatra Barat (Sumbar) dan Riau berlangsung di Padang 23-24 Januari 2009.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010