Kupang (ANTARA) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menggelar pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak, pada sembilan kabupaten di provinsi berbasis kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 9 Desember 2020.
Sembilan kabupaten itu adalah Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur di Pulau Sumba, Timor Tengah Utara, Belu, Malaka di Pulau Timir, Ngada, Manggarai dan Manggarai Barat di Pulau Flores dan Kabupaten Sabu Raijua.
Dari sembilan daerah yang melaksanakan Pilkada 2020 ini, di delapan daerah, petahana maju lagi. Ada yang jilid-2 seperti di Belu dan Manggarai.
Ada yang pecah kongsi seperti di Sumba Barat dan Ngada, dan ada yang karena bupati tidak bisa maju lagi sehingga wakil bupati maju sebagai calon bupati yang berpasangan dengan figur baru. Kecuali Malaka dan Sabu Raijua yang tanpa wakil bupati.
Daerah yang petahana tidak maju lagi dalam Pilkada 2020 ini hanya Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), karena wakil bupati dua periode, Aloysius Kobes tidak mencalonkan diri.
Sementara Bupati Raymundus Farnandes sudah dua periode bersama Wabup Aloysius Kobes sehingga tidak bisa mencalonkan diri lagi sebagai calon bupati.
Namun, istri Raymundus Farnandes yang saat ini menjabat sebagai anggota DPR RI, Kristiana Muki diusung oleh Partai Nasdem untuk menjadi calon Bupati Timor Tengah Utara.
Baca juga: KPU terima pendaftaran 12 bakal paslon Pilkada 2020
Baca juga: KPU NTT harap kampanye pilkada 2020 dilakukan secara daring
Dirinya menjadi satu-satunya keluarga atau kerabat dekat kepala daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang maju dalam Pilkada Serentak 2020.
Sebelumnya, istri Bupati Rote Ndao Bernadetha Haning-Bulu maju dalam Pilkada Rote Ndao tahun 2019. Dirinya terpilih dan kini menjabat sebagai Bupati Rote Ndao.
Fakta ini menggambarkan bahwa dari sembilan kabupaten yang menggelar pilkada ini, delapan kabupaten, minus Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), didominasi oleh calon petahana.
Majunya petahana pada konstetasi politik lima tahunan itu memang secara regulasi dimungkinkan, karena aturan memberikan ruang mencalonkan diri pada periode kedua.
Sebagai kandidat petahana tentu mereka memiliki nilai plus secara politis untuk ikut bertarung dengan keyakinan akan memenangkan pemilihan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa calon petahana telah memiliki sumberdaya politik, finansial, popularitas dan modal sosial karena selama lima tahun menjadi penguasa di daerah.
Kenyataan ini membuat partai politik cenderung merapat untuk mengusung calon petahana dibandingkan calon lain, yang juga berkeinginan kuat untuk maju dalam pilkada.
Sementara tren untuk memborong partai politik sebagai kendaraan politik justru dilakukan oleh para calon petahana, yang memiliki modal secara finansial.
Teori kemungkinan
Namun menurut pengamat politik dari Universitas Muhammdiyah Kupang, Dr. Ahmad Atang, anggapan bahwa calon petahana lebih berpeluang sebagai asumsi yang tidak selalu salah, tapi juga tidak pasti benar karena politik selalu berlaku teori kemungkinan.
Dilihat dari beberapa fakta empiris, ketika head to head justru petahana selalu kalah dibandingkan dengan lawan yang bukan petahana.
Menurut dia, dari delapan kabupaten di NTT yang maju calon petahana justru partai besar seperti PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem sedikit yang berkoalisi dengan petahana, dan yang lain justru berada dicalon lawan.
Di sini dapat disimpulkan bahwa calon petahana tidak menjanjikan kemenangan, kata mantan Pembantu Rektor I UMK itu.
Setiap partai politik tentu mempunyai parameter hasil survei sebelum menentukan figur yang layak, dan pantas untuk diusung dalam setiap pesta demokrasi lima tahunan.
Baca juga: KPU NTT: Tidak ada kendala dalam pencairan dana pilkada
Baca juga: Akademisi nilai politik di tengah pandemi COVID-19 untungkan petahana
Karena itu, kemana arah dukungan partai besar pasti ada indikasi kemenangan, walaupun itu tidak mutlak benar.
Pilkada 2020 di NTT seolah menjadi panggung para petahana karena praktis semua daerah yang melaksanakan pilkada di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2020 ini ada calon petahana yang maju.
Keputusan mengusung petahana dan kerabat dekat di pilkada kali ini, dinilai sebagai pilihan pragmatis, kata pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikael Raja Muda Bataona.
"Pertama-tama saya kira kecenderungan partai-partai politik untuk mengusung petahana atau kerabat dekat para bupati dalam pilkada kali ini adalah murni pertimbangan taksis "perang" di lapangan demi meraih sebanyak mungkin kemenangan," tuturnya.
Elite partai, menurut Mikael, biasanya sangat pragmatis dan akan berpikir logis saja bahwa dengan petahana, urusan surat keputusan (SK) penetapan calon dan segala macam, yang konon membutuhkan biaya hingga miliaran rupiah akan lebih mudah.
Selain karena para elite partai politik percaya bahwa para petahana umumnya akan menang mudah. Dengan topangan uang dan jejaring atau pasukan lapangan hingga ke desa dan rukun tetangga (RT), usaha meraup suara akan sangat mudah, ujar Mikael Bataona.
Artinya, lanjutnya selain karena hitungan rasional bahwa para petahana adalah orang-orang yang sudah berpengalaman dan cukup kapabel sebagai pemimpin wilayah, partai juga melihat manfaat politik yaitu memastikan tambahan kekuatan untuk pemilu mendatang dan manfaat secara ekonomi.
"Berikutnya saya juga membaca kecenderungan ini sebagai sebuah konfirmasi simbolis, sekaligus pesan yang sangat tegas bahwa dominasi oligarki politik itu nyata di NTT," ucapnya.
Baik jejaring oligarki politik lokal dan nasional terus mendikte politik kita di NTT, tegasnya.
Dia mengatakan, hampir dalam setiap kontestasi politik di NTT, jejaring ini mendominasi penentuan para calon, baik pileg, maupun pilkada semuanya di seting.
Artinya dengan tradisi yang terus berulang ini, maka wajah-wajah baru akan sangat sulit tampil dalam berbagai pemilu di NTT karena rakyat selalu dikendalikan oleh menu politik alias calon-calon yang sudah di-seting oleh elite partai.
Mikael mengatakan, rakyat sesungguhnya tidak pernah merdeka menentukan pilihannya. Sebab pilihan mereka sudah disetel oleh elite partai.
Contohnya dalam pilkada seperti ini. Jadi berharap bahwa politik kita akan semakin rasional, inklusif dan demokratis adalah keliru.
Sebab yang terjadi justru sebaliknya bahwa dominasi para klan politik dan oligarki politik lokal dan nasional masih sangat kuat diberbagai pemilu di NTT.
Sekretaris DPD Partai Demokrat NTT Ferdinandus Leu mengatakan, lebih cenderung memilih calon petahana sebagai peserta pilkada, baik sebagai calon bupati maupun calon wakil bupati.
Langkah ini diambil karena Partai Demokrat tidak bisa mengusung pasangan calon sendiri dalam pilkada di sembilan kabupaten di provinsi berbasis kepulauan itu.
"Jadi, kalau ada bakal calon bupati dan wakil bupati petahana yang melamar atau mendaftar di Partai Demokrat, maka bakal calon tersebut berpeluang untuk diusung dalam pilkada," dalihnya.
Majunya calon petahana sebagai gambaran bahwa fenomena kekuasaan selalu menggiurkan bagi setiap orang, apalagi bagi mereka yang pernah menikmatinya.
Oleh karena itu, segala upaya akan dilakukan untuk meraih-nya, maka calon petahana akan mengeksploitasi apa yang pernah diperbuat selama lima tahun menjabat untuk mendapatkan dukungan publik.
Sementara rakyat terhegemoni dalam politik simbolik sebagai sebuah kesuksesan calon petahana. Pada titik inilah, calon petahana dianggap lebih berpeluang meraih kemenangan dibandingkan dengan lawan.
Baca juga: Pengamat sebut pilkada di tengah pandemi untungkan oligarki politik
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020