Jakarta (ANTARA) - KPK sedang menyusun pedoman penuntutan kasus korupsi untuk mencegah disparitas besaran tuntutan dari perkara yang satu dengan perkara yang lain.
"Kami sedang menyusun pedoman penuntutan karena masih ada disparitas dalam penuntutan. Kalau boleh jujur disparitas pemidanaan bukan saja terjadi di tingkat hakim tapi juga di tingkat penuntutan oleh jaksa penuntut umum," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pamolango dalam diskusi virtual Kanal KPK dengan tema "Korupsi, Disparitas Pemidanaan & Perma No 1/2020" di Jakarta, Jumat.
Mahkamah Agung pada 24 Juli 2020 telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 1 tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasa 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk memudahkan hakim dalam mengadili perkara korupsi terkait kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang termuat dalam pasal 2 dan pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Perma No 1 tahun 2020 ini juga menjadi acuan kami menyusun pedoman penunututan tapi penyusunan pedoman penuntutan KPK sudah berlangsung cukup lama bahkan delik pedoman penuntutan ini lebih luas dibanding apa yang tertuang dalam Perma No 1 tahun 2020," ungkap Nawawi.
Nawawi mengatakan pedoman penuntutan KPK tidak hanya terkait korupsi yang menyebabkan kerugian negara tapi juga delik suap dan lainnya.
"Saya yakinkan mudah-mudahan pedoman penuntutan KPK akan lebih bagus karena tidak hanya Pasal 2 dan Pasal 3 tapi juga tindak pidana korupsi lain yang muncul dalam praktiknya juga disusun dalam pedoman KPK ini," kata Nawawi.
Baca juga: Nawawi Pomolango: KPK sedang tuntaskan pedoman penuntutan tipikor
Direktur Penuntutan KPK Fitroh Rochcahyanto mengatakan salah satu faktor terjadinya disparitas pemidanaan atau vonis hakim karena disparitas tuntutan pidana.
"KPK memang belum memiliki pedoman tuntutan, kalau tidak ada pedoman jadi akan terjadi subjektivitas baik dari jaksa penuntut umum (JPU) maupun pimpinan KPK. Masyarakat awam biasanya hanya melihat dari angka contohnya korupsi sekian miliar hukuman badannya sekian tahun sehingga tampak disparitas tanpa melihat spesifik kasusnya," kata Fitroh.
Padahal, menurut Fitroh, kasus-kasus korupsi ada karakternya masing-masing.
"Melihat pedoman penuntutan di Kejaksaan Agung hanya pasal 2 dan 3 dan MA juga seperti itu maka KPK mencoba menyusun seluruh delik korupsi, tidak hanya pasal 2 dan 3 termasuk pasal suap dan tindak pidana pencucian uang hingga korupsi korporasi," kata Fitroh.
Saat ini, pedoman tersebut belum terbit dan masih dalam tahap sosialisasi serta perlu simulasi.
"Secara materi sudah 90 persen, tapi yang utama untuk dilakukan adalah simulasi dengan perkara-perkara yang in kracht (berkekuatan hukum tetap) dan dibandingkan dengan pedoman penuntutan Kejaksaan Agung dan pedoman pemidanaan MA untuk tahu kira-kira celah mana yang perlu kita tutupi, tapi sejauh ini dari simulasi sepertinya sudah agak harmonis dengan pedoman di Kejagung dan Perma," tambah Fitroh.
Dalam menyusun pedoman penuntutan, menurut Fitroh, KPK membuat titik awal sebagai tolak ukur dari rata-rata besaran tuntutan seluruh perkara di KPK.
"Tolak ukur kita dapat angka pidana badan lalu kita coba timbang dalam dengan sisi kiri mengenai hal-hal meringankan sedangkan di kanan hal-hal yang memberatkan dan kita coba langsung dengan memasukkan angka, jadi mengkuantifikasi sesuatu yang kualitatif," ungkap Fitroh.
Model pemedoman tuntutan itu mencontoh pedoman pemidanaan di Amerika Serikat dan pedoman penuntutan di Belanda.
Baca juga: Pegawai KPK ikuti Diklatpim LAN terkait peralihan jadi ASN
Hal-hal yang meringankan secara spesifik misalnya terdakwa mendapat status "justice collaborator", pelaku utama yang kooperatif, pelaku sebagai perantara saja, sakit permanen, berusia lanjut di atas 75 tahun, memperoleh penghargaan dari negara, tidak menikmati hasil kejahatan, mengembalikan hasil kejahatan, menyesali perbuatan dan belum penah dihukum.
Sedangkan hal-hal yang memberatkan nilai suap yang besar, residivis, perbuatan beberapa tindakan korupsi, terdakwa adalah aparat penegak hukum, punya sifat tamak,modus rumit lintas negara, berbelit-belit dan mempersulit pembuktian, pimpinan di lembaga yang seharusnya bebas KKN, berdampak masif/nasional, merusak kepercayaan publik, menyebabkan proyek tidak dapat dimanfaatkan, kerugian negara besar dan menimbulkan kerusakan alam yang parah.
"Dengan adanya pedoman penuntutan ini diharapkan bisa memberikan transparansi dan efisiensi dalam proses rentut, jadi ketika pedoman selesai dibarengi dengan aplikasi JPU tinggal memmencet tombol, misalnya perbuatan pasal 2 kerugian sekian tolak ukur sekian tahun, bisa bergeser ke kanan kalau ada perbuatan yang memberatkan dan bisa bergeser ke kiri kalau ada perbuatan yang meringankan," jelas Fitroh.
Pedoman penuntutan itu juga ditargetkan selesai pada akhir 2020.
"Saat pedoman penuntutan diberlakukan, akan diberikan juga petunjuk teknis tentang pengertian detailnya, jangan sampai hal-hal subjektif tidak dimasukkan karena bisa saja hal subjektif seperti kooperatif dan non kooperatif itu tergantung JPU, tapi subjektivitas itu diberikan bobot kecil sedangkan yang objektif seperti residivis, aparat penegak hukum kita beri bobot yang agak besar," ungkap Fitroh.
Tidak ketinggalan akan dilakukan tinjauan ulang secara berkala terhadap pedoman tersebut untuk menyesuaikan dengan kondisi.
"Penuntutan tetap dibawa ke rapat dengan pimpinan dengan catatan ada pertimbangan hukum yang logis, review pun selalu dilakukan," kata Fitroh.
Baca juga: KPK latih 2.114 akademisi tingkatkan kapasitas pendidikan antikorupsi
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020