Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin menginginkan kebijakan yang ada dapat mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan ke sektor riil dalam rangka upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah ancaman resesi.
"Yang sekarang perlu didorong adalah fungsi intermediasi perbankan. Artinya, memastikan likuiditas dari perbankan betul-betul mengalir ke sektor riil sehingga terjadi permintaan kredit," kata Puteri Anetta Komarudin dalam rilis di Jakarta, Jumat.
Politisi Fraksi Partai Golkar itu mengingatkan, data pada Juli 2020 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan kredit sangat rendah yaitu hingga 1,53 persen, sedangkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga sebesar 8,53 persen.
Ia menyadari bahwa di tengah kondisi ketidakpastian ini, perbankan tentu masih was-was, terlebih dihadapkan dengan risiko kredit macet.
"Hal inilah yang mungkin mendorong perbankan lebih memilih untuk menggunakan likuiditasnya dalam bentuk investasi SBN (Surat Berharga Negara)," ujarnya.
Lebih lanjut, Puteri juga menyoroti tingkat imbal hasil (yield) surat berharga Indonesia untuk tenor 10 tahun yang masih cukup tinggi dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam yang berkisar di level 6,8 persen, per akhir Agustus lalu.
Dengan imbal hasil yang kompetitif ini turut memicu investor untuk memilih berinvestasi pada SBN, lanjutnya, sehingga mengalihkan dana yang mengalir ke perbankan dan pasar keuangan.
Namun, Puteri mengingatkan Pemerintah agar pengalaman Tiongkok dan Vietnam dalam menjaga ketahanan ekonominya di tengah pandemi dapat menjadi pembelajaran dalam penanganan perekonomian dalam negeri.
Menurut dia, dukungan terhadap sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sudah diupayakan datang dari berbagai mekanisme, dari mulai restrukturisasi, subsidi dan ekspansi kredit, penempatan dana pemerintah di bank umum, penjaminan pinjaman, hingga stimulus tunai bagi UMKM.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong konglomerasi sektor keuangan bergerak bersama-sama untuk memacu fungsi intermediasi mulai dari perbankan, asuransi hingga lembaga sekuritas untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Kalau bergerak bersama tentu ini luar biasa. Secara akumulatif agregat ini akan memberikan kegiatan ekonomi yang riil,” kata Staf Ahli OJK Ryan Kiryanto dalam telekonferensi di Jakarta, Rabu (2/9).
Menurut dia, ada sekitar 48 industri keuangan di Indonesia yang bersifat konglomerasi bisnis, terbagi dalam dua jenis yakni induk usaha perbankan dan induk usaha non-bank seperti asuransi atau sekuritas.
Namun, ekonom BNI ini juga mengakui bahwa fungsi intermediasi itu juga perlu dibarengi dengan percepatan penyerapan belanja pemerintah baik pusat dan daerah sehingga menciptakan permintaan masyarakat dan pelaku usaha.
Harapannya, lanjut dia, ketika kegiatan ekonomi mulai menggeliat setelah pelonggaran aktivitas ekonomi dan sosial, mendorong pelaku usaha melakukan tambahan kredit atau mengakses fasilitas kredit baru.
Upaya bersama dari konglomerasi itu diperlukan karena meski kinerja sektor keuangan mulai menggeliat namun masih belum optimal salah satunya ditunjukkan dengan penyaluran kredit di perbankan.
OJK mencatat per Juli 2020, realisasi kredit perbankan mencapai Rp5.536 triliun atau tumbuh positif 1,53 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020