Doha (ANTARA News/AFP) - Kelompok pemberontak utama di Darfur Sudan, JEM, menyatakan, perundingan perdamaian di Qatar dengan pemerintah Khartoum tidak bisa dimulai Minggu seperti yang diharapkan namun akan ada "konsultasi" untuk memilih tanggal lain.
"Mengenai tanggal 24 Januari, kami tidak bisa mengatakan bahwa akan ada negosiasi. Ini bergantung pada pembahasan kami dengan penengah," kata jurubicara Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) Ahmed Hussein Adam, Rabu larut malam.
"Mungkin ada konsultasi pada 24 Januari untuk memilih tanggal lain bagi negosiasi karena masih ada banyak masalah yang ingin kami selesaikan sebelum melakukan perundingan langsung," katanya kepada wartawan di Qatar.
Satu delegasi JEM telah tiba di Doha untuk berunding dengan para pejabat Qatar dan penengah lain.
Djibril Bassole, penengah PBB dan UNi Afrika, mengatakan sebelumnya bahwa perundingan untuk mengatasi konflik di wilayah Darfur akan dimulai lagi di Doha sebelum akhir bulan ini, dan 24 Januari ditetapkan sebagai tanggal bagi perundingan langsung.
Bassole mengungkapkan harapannya bahwa Abdel Wahid Mohammed Nur, pemimpin kelompok pemberontak Tentara Pembebasan Sudan (SLA) di pengasingan, mengambil bagian dalam perundingan tersebut.
SLA adalah salah satu kelompok pemberontak utama di Darfur, selain JEM, dan Nur sebelumnya menolak ikut dalam perundingan di Doha.
Menurut Bassole, ketua penengah PBB dan Uni Afrika untuk konflik tersebut, pada pertemuan Doha itu pihaknya akan mendesak kelompok-kelompok yang bertikai melakukan gencatan senjata nyata dan menyetujui perjanjian perdamaian yang mengakhiri perang.
Namun, Adam mengatakan, JEM menolak keikutsertaan pihak pemberontak lain, dengan mengklaim bahwa "kelmpok-kelompok semacam itu tidak ada di lapangan".
"Gerakan (JEM) merupakan satu-satunya yang saat ini berperang dan ada secara nyata di Darfur... Pihak lain yang mengklaim sebagai gerakan (pemberontak) tidak boleh diikutkan hanya untuk memuaskan mereka atau negara asing pendukung mereka," katanya, tampaknya menunjuk pada SLA.
Pada Februari, JEM menandatangani sebuah perjanjian perdamaian dengan pemerintah Khartoum mengenai langkah-langkah pembangunan kepercayaan yang bertujuan mencapai perjanjian perdamaian resmi.
Pada Mei, JEM sepakat memulai lagi perundingan dengan Khartoum yang dihentikannya setelah pengadilan internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Presiden Sudan Omar Hassan al-Beshir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat.
Perundingan antara pemerintah Khartoum dan pemberontak Darfur untuk mengatasi konflik itu telah ditunda beberapa kali pada tahun lalu.
Perundingan yang dituanrumahahi Qatar itu sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 28 Oktober namun Bassole mengatakan pada saat itu bahwa pertemuan tersebut ditunda sampai 16 November karena waktunya bertepatan dengan pertemuan puncak Uni Afrika. Jadwal terakhir itu pun ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.
Ketegangan meningkat di Sudan setelah Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) pada 4 Maret memerintahkan penangkapan terhadap Beshir.
Jurubicara ICC Laurence Blairon mengatakan kepada wartawan di pengadilan yang berlokasi di Den Haag, surat perintah penangkapan terhadap Beshir itu berisikan tujuh tuduhan -- lima kejahatan atas kemanusiaan dan dua kejahatan perang.
Sudan bereaksi dengan mengusir 13 organisasi bantuan dengan mengatakan, mereka telah membantu pengadilan internasional di Den Haag itu, namun tuduhan tersebut dibantah oleh kelompok-kelompok bantuan itu.
Sejumlah pejabat PBB yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, pengusiran badan-badan bantuan itu akan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Darfur.
Para ahli internasional mengatakan, pertempuran enam tahun di Darfur telah menewaskan 200.000 orang dan lebih dari 2,7 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka. Khartoum mengatakan, hanya 10.000 orang tewas.
PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur, pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010