Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Perindustrian menyatakan penerapan Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) untuk melindungi produk industri dalam negeri dari perdagangan bebas ASEAN-Cina (ACFTA) tidak efektif karena terkendala oleh keterbatasan infrastruktur pengujian.
Dalam penjelasan Menteri Perindustrian, MS Hidayat, pada Rapat Kerja Gabungan dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa perlu dilakukan penyederhanaan dalam proses penerapan instrumen ini sekaligus meningkatkan kemampuan infrastruktur pengujian.
Program SNI di Indonesia, ia menjelaskan mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102 Tahun 2000, katanya. Pada prinsipnya penerapan SNI bersifat sukarela, namun bila dipandang perlu dapat diberlakukan wajib.
Penerapan SNI wajib dilakukan melalui regulasi teknis yang ditetapkan oleh menteri sepanjang memenuhi kriteria, yakni produksi terkait dengan perlindungan keselamatan, keamanan atau kesehatan serta pelestarian lingkungan hidup.
Selain itu kriteria lain yang diperlukan untuk penetapan SNI wajib, menurut dia, untuk pencegahan praktik perdagangan yang curang (deceptive practices).
Ia mengatakan Kementerian Perindustrian ada 43 SNI yang diberlakukan wajib.
Kementerian, lanjut dia, sedang melakukan pengkajian terhadap beberapa SNI yang akan diberlakukan secara wajib, yakni meteran air, tangki air, sepeda roda dua, pelek kendaraan bermotor, baja lembaran tipis lapis timah proses elektronik (BJLTE), baja canai dingin, kabel listrik, baja profil, produk elektronika (sterika listrik, pompa air listrik, audi video), korek api gas, motor bakar dan kaca lembaran.
Dengan memperhatikan perkembangan yang terjadi di pasar dalam negeri dewasa ini, dan dengan mengacu kepada prinsip praktik regulasi yang baik, maka menurut dia, pemerintah akan terus melanjutkan kebijakan pemberlakuan SNI secara wajib dalam rangka perlindungan konsumen dan penciptaan persaingan yang sehat sekaligus untuk mempertahankan daya saing industri dalam negeri.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010