Tindakan untuk mengendalikan wabah virus (corona) mengganggu rantai pasokan pangan global. Pembatasan pergerakan di perbatasan dan penguncian menghancurkan mata pencaharian dan menghambat transportasi pangan bagi penduduk

Jakarta (ANTARA) - Menteri pertanian dari 46 negara berkumpul dalam Konferensi Regional Asia-Pasifik (APRC) FAO ke-35 secara virtual untuk membahas situasi terkini dari ketahanan pangan di kawasan Asia-Pasifik dan menyerukan pentingnya sistem pangan yang lebih tangguh.

Konferensi tersebut memberikan penekanan khusus pada efek penyebaran virus corona baru dan dampaknya pada sistem pangan di seluruh dunia dan kawasan, menurut keterangan tertulis FAO Indonesia yang diterima di Jakarta, Kamis.

Kawasan Asia-Pasifik adalah rumah bagi lebih dari separuh jumlah penduduk dunia yang mengalami kekurangan gizi. Sementara itu, tingkat prevalensi kelaparan hanya turun sedikit dari yang diharapkan.

Kawasan tersebut masih jauh tertinggal dalam percepatan pengurangan kelaparan dan/atau kekurangan gizi sampai 2030, sesuai dengan batas akhir Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang ditetapkan oleh komunitas global untuk menghapuskan kelaparan.

Baca juga: Konferensi FAO, Mentan soroti pertumbuhan PDB Pertanian Indonesia
Baca juga: Konferensi APRC FAO, Mentan paparkan empat strategi perkuat pangan

Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu dalam pidatonya dari Roma di depan lebih dari 400 peserta yang berpartisipasi aktif dalam konferensi tersebut secara virtual, menyoroti dampak negatif terkait pandemi COVID-19 yang telah dirasakan di seluruh sistem pangan.

"Tindakan untuk mengendalikan wabah virus (corona) mengganggu rantai pasokan pangan global. Pembatasan pergerakan di perbatasan dan penguncian menghancurkan mata pencaharian dan menghambat transportasi pangan bagi penduduk," kata Dongyu.

"Kehilangan dan pemborosan pangan meningkat, karena petani harus membuang bahan pangan yang mudah rusak, dan banyak orang di pusat kota yang berjuang untuk mendapatkan makanan segar," ujarnya.

Dongyu menekankan bahwa petani kecil dan keluarganya, pekerja pangan di semua sektor dan semua orang yang hidup dalam ekonomi yang bergantung pada komoditas dan pariwisata sangat rentan.

"Mereka sangat membutuhkan perhatian kita. Kita perlu mengkaji kembali sistem pangan dan rantai nilai pangan, Kita harus lebih memanfaatkan inovasi dan teknologi pertanian yang ada, dan mempertimbangkan teknologi terbaru," kata Dongyu.

Menghadapi pandemi, FAO telah meluncurkan Program Respons dan Pemulihan COVID-19 FAO, yang memungkinkan donor untuk memanfaatkan kekuatan organisasi, data terkini, sistem peringatan dini, dan keahlian teknis untuk mengarahkan dukungan di daerah mana dan kapan paling dibutuhkan.

Empat prioritas Indonesia
Menteri Pertanian RI Syahrul Yassin Limpo dalam pidatonya yang disampaikan secara virtual dari Malang, Jawa Timur, menjelaskan kepada peserta konferensi empat prioritas Indonesia dalam situasi "normal baru".

Prioritas itu menyoroti upaya Indonesia untuk memperkuat ketahanan pangan dan sistem pangan pada masa pandemi.

Tangkapan layar: Menteri Pertanian RI Syahrul Yassin Limpo secara virtual dari Malang, Jawa Timur menyampaikan pidatonya dalam Konferensi Regional Asia-Pasifik (APRC) FAO ke-35. (HO-FAO Indonesia)

"Untuk menopang ketersediaan pangan bagi semua di era normal baru, kami telah mengembangkan seperangkat kebijakan yang disebut '4 Cara Bertindak'," kata Syahrul.

"Empat prioritas tersebut adalah peningkatan kapasitas produksi, diversifikasi pangan lokal, penguatan cadangan pangan dan sistem logistik, pengembangan pertanian modern," ujar dia.

Syahrul juga menyebutkan bahwa meski terjadi perlambatan ekonomi akibat pandemi COVID-19, produk domestik bruto (PDB) Indonesia di sektor pertanian meningkat 2,19 persen pada tahun ini. Indonesia juga mencapai pertumbuhan sektor pertanian sebesar 16,24 persen dibandingkan triwulan sebelumnya.

Terlepas dari kemunduran global dalam pencapaian SDGs, peringkat ketahanan pangan Indonesia dalam indeks keamanan global telah meningkat dari peringkat 74 pada 2015 menjadi peringkat 62 pada 2019. Prevalensi stunting pun menurun dari 30,8 persen pada 2018 menjadi 27,67 persen pada 2019.

Mentan RI juga menyerukan pentingnya untuk memperkuat kolaborasi dan mendukung inisiatif FAO Hand in Hand.

"Melalui Kerja Sama Selatan-Selatan dan Kerja Sama Triangular, Indonesia siap untuk berbagi pengalaman dengan setiap negara di kawasan untuk bersama-sama berkontribusi dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan," ujarnya.

Konferensi Regional FAO yang diselenggarakan setiap dua tahun merupakan forum untuk membahas tren dan tantangan regional saat ini dan ke depan.

Dalam konferensi tahun ini, inisiatif baru FAO Hand in Hand menjadi salah satu bahasan utama. Inisiatif itu berfokus pada peningkatan kerja sama dan dukungan terhadap potensi daerah tertinggal dan kelompok penduduk yang rentan sesuai dengan komitmen PBB untuk "tidak meninggalkan siapa pun".

Inisiatif itu menargetkan kelompok masyarakat yang paling rentan, dan terutama di populasi, wilayah, dan negara yang lebih miskin.

Baca juga: Harga pangan dunia meningkat pada Juli, memperpanjang lambungan
Baca juga: Ancaman krisis pangan, Peneliti ingin hambatan perdagangan dihapuskan

Pewarta: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020