Semarang (ANTARA News) - Indonesia membutuhkan waktu setidaknya sekitar tiga tahun untuk menerapkan kebijakan Free Trade Agreement (FTA) ASEAN-China, kata pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Tony Prasetiantono
"Indonesia harus menunda penerapan kebijakan tersebut dengan menempuh segala resikonya, sebab sektor perekonomian Indonesia memang belum siap," katanya usai seminar "Outlook 2010" di Hotel Grand Candi Semarang, di Semarang, Rabu.
Ia mengemukakan, penerapan kebijakan tersebut tentunya akan menyebabkan banyak produk dari negara lain terutama China masuk ke Indonesia dengan harga lebih murah dibandingkan dengan produk lokal sehingga produk lokal akan kalah bersaing.
Berbagai produk China yang ditawarkan dengan harga murah tersebut, katanya, diantaranya dipengaruhi oleh ongkos produksi yang lebih murah dan nilai mata uang China, Remimbi, yang cenderung rendah.
"Sedangkan produk-produk lokal cenderung lebih mahal karena dipengaruhi nilai suku bunga yang tinggi, ketersediaan sarana dan infrastruktur, serta faktor birokrasi yang membuat ongkos produksi menjadi tinggi," katanya.
Namun, katanya, ada prediksi bahwa nilai Remimbi pada Tahun 2010 akan cenderung menguat seiring dengan penerapan FTA Asean-China mulai Tahun 2010.
Berdasarkan mekanisme, katanya, ketika kondisi ekonomi bagus, nilai mata uang akan ikut naik.
Ia mengemukakan, Indonesia harus menunda penerapan kebijakan FTA Asean-China untuk memberi kesempatan sektor industri dalam negeri menata diri dan berkembang termasuk sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Ia mengemukakan, sektor UMKM di Indonesia hingga saat ini memang masih menjadi unggulan.
Sektor itu, katanya, selama ini mampu bertahan meskipun menghadapi tingkat suku bunga yang cukup tinggi.
"Kalau FTA Asean-China dipaksakan diterapkan di Indonesia tahun ini, sektor UMKM yang akan merasakan dampak dari penerapan kebijakan tersebut," kata Tony yang juga Chief Economies Bank Negara Indonesia (BNI) tersebut.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010