Jakarta (ANTARA) - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Kejaksaan Agung menggelar rapat kerja untuk menampung masukan terkait poin-poin Revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (RUU Kejaksaan) yang diusulkan Komisi III DPR RI, Rabu.
Anggota Baleg DPR RI Hinca Panjaitan mengatakan RUU Kejaksaan harus dibawa ke Baleg DPR RI dulu untuk dilakukan harmonisasi sebelum diserahkan ke Komisi III DPR guna membahas substansi nya.
"Harus dimulai dari Baleg dulu untuk harmonisasi, sesudah itu baru diserahkan ke Komisi III membahas substansinya," ujar Hinca saat dihubungi lewat pesan singkat di Jakarta, Rabu.
Raker Baleg DPR RI digelar secara terbuka dengan dihadiri Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi dan Jaksa Agung Muda bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Feri Wibisono.
Baca juga: DPR: 8 poin RUU Kejaksaan sesuai semangat penyederhanaan legislasi
Menurut Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas, yang paling mudah merumuskan poin-poin dari revisi UU Kejaksaan adalah menentukan posisi Kejaksaan sebagai bagian dari eksekutif atau yudikatif.
Supratman mengatakan bahwa UU Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 38 ayat 2 menyebutkan bahwa fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman adalah penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan dan pelaksanaan putusan.
Karena itu, menurut Supratman, pokok utama dalam revisi UU Kejaksaan adalah menentukan wilayah kerja Kejaksaan agar menjadi jelas dan tidak menjadi perdebatan konstitusional.
"Ini yang seharusnya diharmonisasi. Kalau kita sudah temukan ini, mengharmonisasi kewenangan-kewenangan di bawah itu jadi lebih mudah," kata Supratman.
Sementara itu, Jamdatun mengusulkan agar Kejaksaan tetap seperti sekarang yang menjadi bagian dari eksekutif.
Baca juga: Baleg DPR RI sepakat bahas RUU Kejaksaan dalam panitia kerja
"Hampir di semua negara, Kejaksaan fungsinya adalah fungsi eksekutif, sebagai masukan saja," kata Feri.
Namun karena fungsinya sangat krusial yakni penegakan hukum, maka Kejaksaan harus dijaga agar tetap pada posisi yang independen dan berbeda dari Kementerian lain.
"Karena sangat berimplikasi pada kepentingan rakyat. Walaupun dalam fungsi eksekutif, namun demikian harus diberikan independensi. Kejaksaan dalam perkara pidana harus mendapatkan proteksi independensi yang berbeda dari kementerian-kementerian yang lain," kata Feri.
Feri mengatakan bahwa kebebasan peradilan menjadi suatu hal yang krusial dan harus terjaga di dalam revisi UU Kejaksaan agar mewujudkan keadilan yang diharapkan oleh masyarakat global.
"Kaitannya dengan menjaga standar internasional. Khusus untuk Kejaksaan, itu ada yang disebut sebagai UN Guidelines on The Law of Persecutors. Kemudian ada International Association of Persecutor (IAP), yang membuat satu standar profesional Kejaksaan. Kejaksaan harus mengadopsi ketentuan-ketentuan itu," kata Feri.
Baca juga: Pangeran Khairul Saleh paparkan alasan UU Kejaksaan perlu direvisi
Menurut ketentuan-ketentuan tersebut, Jaksa harus menjaga kegiatan penanganan perkara berlaku objektif sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan berkeadilan.
"Jaksa harus menjaga, karena jaksa pintunya di tengah. Sehingga jaksa harus memastikan bahwa semua barang bukti itu diperoleh dengan cara-cara yang benar. Kalau yang melakukan tidak benar harus dilakukan kegiatan investigasi," kata Feri.
Karena adanya upaya merusak barang bukti dan menyembunyikan hasil kejahatan yang dilakukan pelaku kriminal, maka penyadapan diperlukan untuk dapat dilakukan oleh Kejaksaan.
"Maka Kejaksaan memandang bahwa menghadapi perkembangan dari upaya dan perilaku dari para pelaku kejahatan yang semakin canggih, menggunakan berbagai cara termasuk penyuapan dan lain-lain, maka diperlukan suatu kewenangan dari penegak hukum melakukan penyadapan untuk mengantisipasi upaya pelaku kriminal itu," kata Feri.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020