Bangalore (ANTARA) - Jumlah antibodi COVID-19 dalam tubuh lebih dari 90 persen pasien sembuh di Islandia meningkat setelah empat bulan, demikian hasil kajian sejumlah ilmuwan yang terbit Selasa (1/9).

Beberapa kajian sebelumnya memperlihatkan jumlah antibodi dalam tubuh pasien turun drastis setelah terserang COVID-19. Temuan itu membuat banyak pihak mempertanyakan berapa lama waktu yang ditubuhkan tubuh untuk mengembangkan sistem imun terhadap virus corona jenis baru itu (SARS-CoV-2).

Temuan baru itu kemungkinan berpengaruh terhadap pemahaman mengenai risiko penularan kembali serta daya tahan vaksin, kata peneliti dan kepala deCode Genetics, lembaga yang mengadakan penelitian tersebut.

Sejumlah ilmuwan dari deCode Genetics memeriksa jumlah antibodi pada lebih dari 30.000 penduduk Islandia demi mendapatkan data mengenai seberapa banyak warga setempat yang terjangkit COVID-19 serta mendalami sistem kekebalan tubuh setelah terjangkit penyakit itu.

Baca juga: Madonna pergi ke pesta setelah klaim punya antibodi corona
Baca juga: Uji coba antibodi COVID-19 Inggris dinyatakan 98,6 persen akurat

Hasilnya, ilmuwan memprediksi sekitar satu persen populasi di Islandia positif tertular COVID-19. Dari jumlah itu, 56 persen di antaranya menerima konfirmasi positif COVID-19 setelah menjalani tes usap PCR.

Sementara itu, 14 persen lainnya merupakan kontak erat pasien COVID-19 dan telah menjalani karantina. Dari 30 persen sisanya, peneliti menemukan mereka pernah tertular virus.

Dari total 1.215 pasien yang terkonfirmasi positif COVID-19, jumlah antibodi dalam tubuh 91 persen pasien naik pada waktu dua bulan setelah menjalani tes dan dalam kondisi stabil, terang para peneliti dalam hasil studinya.

Temuan baru itu telah terbit di jurnal kesehatan, The New England Journal of Medicine. Hasil penelitian itu hanya terpusat pada populasi di Islandia sehingga temuan itu belum tentu sama dengan penduduk dengan ragam kondisi di negara lain.

Walaupun demikian, penelitian itu menunjukkan tes antibodi dapat memperlihatkan prevalensi yang cukup tepat dari penularan virus, kata Stefansson.

Kolom editorial yang terbit bersamaan dengan hasil penelitian menegaskan sejauh ini masih belum jelas apakah antibodi pasien sembuh dapat mencegah risiko penularan kembali.

Namun, kolom editorial itu meyakini tes antibodi merupakan alternatif yang cukup efektif dari segi biaya, dan kemungkinan dapat menjadi alat yang dapat lebih baik mengetahui kondisi masyarakat di negara-negara yang telah membuka kembali sekolah serta aktivitas ekonominya.

Sumber: Reuters

Baca juga: Tujuh negara Afrika mulai uji antibodi COVID-19
Baca juga: FDA siap mengizinkan plasma darah untuk pengobatan COVID-19

Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020