Jakarta (ANTARA) -
Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) mengharapkan Keputusan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang mencantumkan ganja sebagai komoditas tanaman binaan jangan sekedar dicabut untuk di revisi lagi.
Ketua MAHUPIKI sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor Dr Yenti Garnasih SH MH dalam keterangan trrtulisnyang diterima di Jakarta, Rabu, mengingatkan itu setelah Menteri Syahrul Yasin Limpo mencabut Kepmentan Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 yang mencantumkan ganja sebagai komoditas tanaman binaan di bawah kementerian yang dipimpinnya pasca viral dan jadi polemik.
"Saya memandang ide melegalkan ganja apapun peruntukannya misalnya seperti yang baru-baru ini untuk pengobatan, apalagi tidak/belum memiliki payung hukum yaitu undang-undang baru yang tentunya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang sebelumnya atau yang lain, tentu ini sangat disayangkan," katanya.
Baca juga: Ahli: penetapan ganja sebagai tanaman obat bukan kewenangan Kementan
Ditambah lagi, menurut yang dia lihat dan baca dari beberapa media massa mainstream nasional, alasan dicabutnya Kepmentan Nomor 104 tahun 2020 itu untuk dikaji kembali dan segera dilakukan revisi setelah berkoordinasi dengan stakeholder terkait (BNN, Kemenkes, LIPI).
Pasang cabut kebijakan atau peraturan seperti ini, tentunya membuat rakyat bingung dan menimbulkan banyak pertanyaan hingga dugaan di publik, kemudian tentu juga mengganggu kewibawaan pemerintah.
"Wajar saja jika ada masyarakat yang menduga apakah aturan Kepmentan ini karena pesanan? Apakah ini semacam 'tes' untuk melihat reaksi masyarakat," katanya.
Memang, lanjut Yenti, ada beberapa negara yang melegalkan ganja, khususnya untuk obat-obatan. Tetapi kalau kita akan mengikuti hal itu, apakah sudah mempelajari mengapa beberapa negara tersebut sampai pada keputusan seperti itu.
Tentu, menurut dia, harus ada kajian mendalam dari berbagai sudut pandang, geografis Indonesia, tingkat pendidikan kebanyakan masyarakat terkait kedewasaannya untuk tidak menyalahgunakan legalisasi ganja untuk pengobatan, pengawasannya dan lain- lain.
Baca juga: Kementan: Ada pengawasan ketat jika ganja dibudi daya sebagai obat
"Intinya tidak semua yg cocok atau siap diterapkan di negara lain, tepat atau cocok di Indonesia, terutama dalam implementasinya," katanya.
Sesuai persyaratan pengaturan yang akan diberlakukan, minimal harus ada rencana pembahasan berisi konsensus masyarakat terkait hal itu, kajian-kajian cost and benefit bila melegalkannya, dan tentu setelah itu harmonisasi hukum dengan peraturan lain.
"Dan terakhir pada kementerian mana usulan ini akan dilakukan," ucapnya.
Mengingat persoalan ganja dilarang oleh peraturan setingkat undang undang, maka menurut dia tidak mungkin dianulir oleh keputusan menteri.
Kalau Kementan mempunyai pandangan bahwa ganja adalah pohon obat atau untuk pengobatan, maka seyogyanya mengajak aparatur penegak hukum (BNN, Polri, kejaksaan), LIPI, Kemenkes, dan stakeholder lainnya untuk duduk bersama sebelum mengeluarkan keputusan yang dinilai publik sebagai keputusan pemerintah.
Atas dasar itulah, Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia mengingatkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 itu dibatalkan.
Baca juga: Kementan cabut penetapan ganja sebagai tanaman obat
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020