Sebab penurunan mata uang domestik itu akan mendorong nilai transaksi perdagangan Indonesia di pasar akan menjadi lebih tinggi, katanya di Jakarta, Sabtu.
Krisna Dwi Setiawan Anwar yang juga analis PT Valbury Asia Securities, mengatakan, rupiah idealnya berada di posisi antara Rp9.200 sampai Rp9.500 per dolar.
Karena nilai tukar rupiah di level tersebut, maka eksportir maupun importir akan dapat melakukan kegiatan usaha dengan lebih baik, ucapnya.
Rupiah, lanjut dia sempat mencapai angka Rp9.150, namun kemudian kembali terkoreksi, karena pelaku pasar melakukan aksi lepas mata uang lokal itu.
Mata uang Indonesia sebelumnya diperkirakan akan dapat mendekati angka Rp9.000 per dolar, namun sampai saat ini sulit mendekati angka tersebut.
Hal ini disebabkan Bank Indonesia sejak 11 Januari 2010 telah masuk pasar menahan lajunya kenaikan tersebut, tuturnya.
Meski demikian, menurut dia kenaikan rupiah dan saham menunjukkan ekonomi Indonesia tumbuh, meski pertumbuhan tersebut dinilai rapuh.
Sebab, pertumbuhan ekonomi nasional ditopang oleh dana asing dalam jangka pendek, penerbitan obligasi pemerintah yang beresiko tinggi.
Pemerintah saat ini cenderung melakukan penerbitan obligasi baik dalam dolar maupun rupiah yang diminati pelaku asing.
Sementara itu pengamat ekonomi lainnya, Roy Sembel memperkirakan kenaikan suku bunga bank sentral negara-negara Asia dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi negara belum mendorong
Bank Indonesia dalam waktu dekat mengikuti kenaikan suku bunga itu.
BI dalam waktu enam bulan kedepan masih mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) yang masih mencapai 6,5 persen, meski bank sentral sejumlah negara di Asia telah menaikkan suku bunga utama, katanya.
Roy Sembel yang juga dosen Universitas Multimedia Nusantara mengatakan, faktor yang mendorong kenaikan suku bunga apabila inflasi suatu negara terus menguat.
Selain itu juga dipengaruhi oleh peringkat utang negara tersebut, katanya.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010