Baghdad (ANTARA News/AFP) - Pelarangan resmi terhadap para politikus Sunni Irak yang dituding memiliki hubungan dengan Partai Baath untuk mengikuti Pemilu 7 Maret 2010, dikhawatirkan banyak pihak akan memunculkan ketegangan baru di negara itu.

Sejumlah pengamat politik Irak mengatakan pelarangan itu dapat merusak Pemilu karena pertarungan politik di lapangan terpusat pada pertikaian masa lalu daripada mencari solusi atas masalah multi-dimensional yang dihadapi Irak.

AFP, Ahad, melaporkan para politikus utama Sunni marah atas pelarangan sekitar 500 orang calon yang dituduh memiliki hubungan dengan Partai Baath mantan Presiden Saddam Hussein itu.

Di antara politisi Sunni yang masuk daftar hitam berdasarkan undang-undang yang "mengharamkan" para pengikut Parta Baath ikut dalam Pemilu di Irak itu adalah Menteri Pertahanan Abdel Qader Jassem al-Obeidi.

Pelarangan itu terjadi untuk kedua kali sejak Amerika Serikat (AS) menyerbu Irak guna mendepak mendiang presiden Saddam Hussein dari kursi kekuasaan yang kemudian memicu perlawanan rakyat dan pertikaian sektarian yang menewaskan puluhan ribu warga sipil Irak.

Pengamat Politik Irak, Reider Visser, mengatakan dilarangnya para politikus Sunni, termasuk Saleh al-Mutlak --yang dikenal sebagai anggota parlemen yang selalu kritis terhadap pemerintah-- menunjukkan Irak kembali berada di ambang pertikaian politik sektarian baru seperti pada Pemilu Desember 2005.

"Kondisi ini menjadikan rakyat Irak terus bergulat dengan masa lalu ketimbang memandang masa depan dan berbagai persoalan yang menuntut penyelesaian," kata pengamat politik yang mengelola situs yang memusatkan diri pada masalah Irak, www.historiae.org, itu.

Di negara yang hancur lebur pasca-invasi AS itu, mayoritas kalangan Sunni memboikot pelaksanaan Pemilu 2005. Akibatnya, pemerintahan Irak didominasi para politikus Syiah. Kondisi tersebut memperdalam pertikaian yang sempat menempatkan rakyat Irak di tepi jurang perang saudara.

Pengikut Baath

Pada masa Saddam Hussein, keanggotaan di Partai Baath merupakan prasyarat utama untuk mendapatkan pekerjaan maupun promosi jabatan di lembaga-lembaga pemerintah.

Namun kondisi yang berbeda dialami para pengikut Partai Baath setelah rezim Saddam Hussein tumbang pasca-serbuan AS.

Proses penghapusan pengikut Partai Baath kemudian dilakukan Diplomat AS yang ditunjuk Gedung Putih sebagai Kepala Pemerintah Provinsial Koalisi, Paul Bremer, dengan mendepak ribuan pegawai pemerintah era Saddam Hussein.

Bagi pengamat politik Irak yang bekerja untuk "International Crisis Group", Joost Hiltermann, pelarangan resmi terhadap para politikus Sunni itu bisa mengancam pelaksanaan Pemilu yang bebas, jujur dan inklusif.

"Hal ini menunjukkan kelompok politik (Irak) masih jauh dari saling mengakomodasi dan rekonsiliasi. Kalau keputusan (pelarangan) ini tidak diubah, kita akan kembali menghadapi terjadinya peningkatan kekerasan baru dan berbahaya (di Irak)," katanya.

Pandangan yang sama juga disampaikan Pakar Keamanan Nasional dan Kebijakan Pertahanan Institut Brookings di Washington, Michael O`Hanlon.

O`Hanlon menyebut pelarangan terhadap para politisi Sunni Irak itu sebagai sebuah "kemunduran yang mengkhawatirkan".

Ketika menanggapi pelarangan tersebut, Anggota Parlemen Sunni, Khalaf al-Alayane, menegaskan hal itu sebagai "ilegal" karena komite Pemilu sendiri tidak disepakati secara profesional dan para anggota parlemen juga menolak memilih mereka yang duduk di komite.

"Keputusan-keputusan itu akan mempengaruhi proses rekonsiliasi dan kepentingan nasional Irak ...," katanya.

Pemilu 7 Maret 2010 akan diikuti sekitar 6.500 orang calon dari 86 partai politik, termasuk 12 partai koalisi.

Berbagai pihak memandang penting Pemilu 2010 bagi konsolidasi demokrasi Irak dan mempermulus rencana militer AS keluar dari negara itu pada akhir 2011.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010