Jakarta (ANTARA News) - "Dari pintu ke pintu kucoba tawarkan nama. Demi terhenti tangis anakku dan keluh ibunya. Tetapi nampaknya semua mata memandangku curiga. Seperti hendak telanjangi dan kulit jiwaku. Apakah buku diri ini selalu hitam pekat? Apakah dalam sejarah orang mesti jadi pahlawan?.....".
Cuplikan syair lagu "Kalian Dengarkah Keluhanku" penyanyi kawakan Ebiet G. Ade tersebut tepat ditujukan untuk mewakili perasaan hati para narapidana yang telah menghirup udara bebas namun terlanjur menanggung stigma di mata masyarakat.
Bahkan, banyak diantara mantan napi termasuk anak-anak yang telah bebas kemudian dikucilkan oleh masyarakat bahkan ditolak di lingkungan tempat tinggalnya karena khawatir citra buruk melekat pada lingkungan tersebut.
Berangkat dari keprihatinan terhadap masa depan anak-anak yang bermasalah dengan hukum, Kementerian Pendidikan Nasional akan memperkuat pendidikan bagi anak-anak dan remaja penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) agar mereka tetap mampu mengakses ilmu pengetahuan sekaligus menyelesaikan pendidikan sekalipun sedang menjalani masa hukuman.
"Kami akan memperkuat sekolah di lapas dengan membuka akses bagi penghuni khususnya lapas anak agar mereka tetap dapat menimba ilmu dan melanjutkan pendidikan karena hal tersebut merupakan konsekuensi dari konsep dasar kebijakan nondiskriminasi," kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh.
Sementara instansi lain memberikan penguatan dan pemberdayaan dari sisi lain sehingga saat ini menyelesaikan masa hukumannya anak-anak yang terpaksa berurusan dengan hukum sudah memiliki bekal ilmu dan kesiapan secara mental memasuki kehidupan sosial, katanya.
Nuh mengingatkan, seseorang, baik pada usia anak maupun dewasa terpaksa menjalani masa hukuman di lapas, tidak berarti ia kehilangan hak untuk memperoleh akses terhadap pendidikan namun juga tidak berarti para penghuni Lapas tersebut bersekolah di luar lapas.
"Kemdiknas akan memperkuat pendidikan serta pelatihan yang telah diberikan selama ini oleh instansi terkait dengan memfokuskan pada pendidikan formal seperti pendidikan jarak jauh untuk penghuni dewasa, pendidikan dasar dan menengah, pendidikan nonformal serta pendidikan kecakapan kehidupan (life skills) untuk anak-anak dan remaja," kata Mohammad Nuh.
"Bisa dibayangkan jika warga binaan lapas memiliki beban luar biasa ketika harus kembali ke masyarakat. Kami berharap dengan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup serta ijazah setidaknya mereka bisa membangun kepercayaan diri kembali," katanya.
Penguatan sekolah bagi warga binaan akan diterapkan di lapas yang berada di kota besar seperti ibu kota provinsi sebab umumnya penghuni terbanyak berada di kota besar bukan di kota kecil.
"Penguatan sekolah dilakukan untuk lapas di Jakarta dan sekitarnya, Medan, Surabaya dan kota-kota besar lain. Intinya kami ingin penguatan sekolah bisa memberi peluang bagi penghuni lapas ketika kembali ke masyarakat sebagai orang baik," katanya.
Pasca bebas
Bersamaan dengan program penguatan pendidikan di lapas, Kementerian Pendidikan Nasional sedang mempersiapkan program pendampingan bagi narapidana anak yang telah menyelesaikan masa hukumannya agar tetap memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan baik formal maupun nonformal sebagai modal untuk kembali ke lingkungan sosial.
"Kami akan bekerja sama dengan pemerintah daerah dan dinas pendidikan di masing-masing daerah untuk menerbitkan surat rekomendasi guna membantu para pendamping memperoleh informasi sekolah mana yang akan dijadikan tempat bagi napi anak untuk melanjutkan pendidikannya," kata Sekretaris Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Depdiknas, Bambang Indriyanto.
Para pendamping akan menemani para mantan narapidana anak, hingga mendapat sekolah formal, Sekolah Luar Biasa (SLB) tipe E atau Tuna Laras, pondok pesantren atau pendidikan nonformal lainnya yang sesuai dengan kemampuan napi anak tersebut.
"Program pendampingan sangat penting dilakukan, karena ada kecenderungan sekolah tidak mau menerima anak mantan narapidana. Selain itu, orang tua anak juga tidak mau berusaha keras untuk mencarikan sekolah bagi anaknya. Sehingga tidak heran jika anak-anak kembali berbuat kejahatan karena anak-anak itu tidak tahu harus melakukan apa," kata Bambang Indriyanto.
Program pendampingan ini merupakan tindak lanjut dari kerja sama tiga menteri dalam upaya perbaikan kualitas pendidikan di lembaga pemasyarakatan (lapas), yaitu Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ia mengatakan, tidak menutup kemungkinan narapidana menempuh pendidikan tingkat sarjana baik dalam lapas, maupun setelah keluar dari lapas, karena banyak pendapat menyatakan nasib napi tak akan lepas dari lingkungan sebelumnya sepanjang hidupnya.
"Kita tidak menginginkan anak-anak tersebut keluar lapas, sudah berbuat kejahatan lagi. Padahal, masa depan napi anak kan masih panjang. Untuk itu, perlunya bimbingan agar mereka tak gamang dalam menjalani hidup setelah keluar dari lapas," katanya.
Ia mengatakan, program pendampingan tersebut tidak menetapkan target waktu dan sangat bergantung kesiapan anak-anak tersebut untuk memasuki kehidupan sosial.
"Nantinya kita akan dampingi mereka hingga mereka merasa cukup mendapatkan pendidikan dan keterampilan dan kecakapan hidup agar bisa mandiri," katanya.
Pelayanan pendampingan ini terutama ditujukan bagi napi usia pendidikan dasar (7-15 tahun) dan prioritas kedua adalah anak usia jenjang pendidikan menengah (16-19 tahun). Bagi anak usia pendidikan dasar, semua pembiayaan akan ditanggung pemerintah. Sedangkan anak usia 16-19 tahun akan diberikan program beasiswa.
Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM menyebutkan, jumlah narapidana anak dari tahun ke tahun terus meningkat.
Jumlah narapidana anak (anak didik pemasyarakatan) sampai dengan bulan Maret 2008, berjumlah 5.630 anak. Sedangkan akhir tahun 2009 ,jumlahnya meningkat menjadi 5.760 anak.
Rumah singgah
Anak-anak dalam lapas dan anak-anak yang sudah menyelesaikan masa hukuman dapat dikategorikan sebagai anak dengan kebutuhan khusus, sehingga perlu penanganan khusus sesuai dengan kebutuhan mereka, demikian pendapat psikolog anak dari Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Fawzia Aswin Hadis.
"Anak-anak dengan kebutuhan khusus tidak selalu dikonotasikan cacat secara fisik ataupun mental sehingga dibuat kategori sekolah luar biasa (SLB) berdasarkan tipenya. Tipe E atau tuna laras memang ditujukan bagi anak-anak yang mengalami masalah seperti sedang dan pernah menjalani hukuman di lapas,"katanya.
Prof Fawzia mengatakan, anak-anak yang bersekolah di SLB tipe E secara intelektual tidak ada masalah dan sebenarnya bisa saja masuk ke sekolah umum, tetapi justru karena banyak penolakan karena ketidaktahuan sehingga banyak sekolah yang menolak mantan napi anak atau remaja.
"Sistem kita yang telah memberi pengkontak-kontakan secara tidak langsung telah menciptakan diskriminasi, padahal belum tentu anak yang bersangkutan menginginkan masuk penjara. Bisa jadi ia hanya korban," katanya.
Karena itu, Kemdiknas perlu melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah agar anak dengan kebutuhan khusus dapat memeroleh hak atas pendidikan dan bersosialisasi dengan lingkungan sebayanya.
Sementara itu, Guru besar dari Universitas Negeri Jakarta, Prof Dr Arief Rahman mengatakan, sebelum anak menghirup kekebasan dari lapas harus dipastikan anak tersebut sudah memiliki bekal ilmu yang memadai baik secara akademis maupun ketrampilan.
"Namun, lebih penting lagi kesiapan emosional anak untuk masuk kembali ke lingkungan sosial masyarakat dengan kemampuan membedakan baik dan buruk, benar dan salah serta sikap percaya diri sehingga ada "benteng" yang kuat untuk tidak terjerumus kembali dalam dunia yang pernah mengantarkan anak ke dalam penjara," katanya.
Menurut Prof Arief, sebelum anak keluar dari lingkungan lapas harus ada kenyamanan yang diperoleh tempat anak atau remaja tersebut akan kembali.
"Anak atau remaja tersebut wajib ditanya kemana ia akan pergi setelah bebas dan tidak dapat dipaksakan menurut kehendak orang lain termasuk orang tua atau kerabatnya. Biarkan anak itu menuruti suara hatinya sebab bisa jadi anak belum ingin kembali ke rumah orang tua atau lingkungan tempat tinggalnya. Karena mereka merasa lebih nyaman untuk menetap sementara di rumah-rumah singgah, panti sosial atau malah memilih bekerja sosial," katanya.
Namun demikian, ujar Prof Arief, pemerintah yakni Kementerian Pendidikan Nasional, Hukum dan HAM atau Pemberdayaan Perempuan dan Perlindngan Anak tetap harus memantau keberadaan anak tersebut hingga benar-benar siap dan mandiri masuk ke lingkungan sosial masyarakat dengan orientasi hidup yang baru.(*)
Oleh
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010