Jambi (ANTARA News) - Bencana banjir yang terjadi di beberapa daerah khususnya di Provinsi Jambi lebih banyak disebabkan oleh konversi hutan yang berlebihan, kata koordinator Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) cabang Jambi Arif Munandar.
Ditemui di Jambi, Jumat, Arif mengatakan, bencana banjir di Provinsi Jambi selain intensitasnya bertambah setiap tahun, luasan daerah banjir juga semakin meluas.
Sebelum tahun 2000-an bencana banjir sangat jarang terjadi dan hanya terjadi di beberapa daerah rendah atau wilayah yang berada di sepanjang aliran sungai.
"Namun saat ini daerah bencana banjir semakin meluas dan menjadi bencana tahunan," ujarnya.
Menurut dia, konversi hutan menjadi daerah perkebunan ataupun hutan produksi menyebabkan hutan sebagai daerah resapan utama menjadi hilang.
Hal tersebut didukung oleh iklim dunia yang tidak menentu menyebabkan bencana banjir diperkirakan akan terus terjadi dan bahkan akan semakin meluas.
Arif menyebutkan, salah satu faktor teknis adalah pemberian izin oleh pemerintah kepada perusahaan pengusahaan hutan yang tidak diiringi oleh seleksi ketat untuk menjaga kelestarian hutan.
"Kebijakan pemerintah saat ini belum sesuai dengan pola tata ruang yang ada. Meski secara tertulis penyusunan tata ruang sudah bagus, pada prakteknya hal itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada," ujarnya.
Berdasarkan analisis Walhi, pada era 1990-an hutan di Provinsi Jambi mencapai luas 2,2 juta hektare. Setiap tahun jumlah tersebut mengalami penyusutan seluas 99.000 hektare, baik rusak oleh konversi, pembalakan liar maupun kerusakan hutan akibat alam.
Diperkirakan saat ini hutan di Provinsi Jambi hanya tersisa 500.000 hektare, itupun sudah mengalami kerusakan yang masuk kategori parah.
"Yang paling memprihatinkan kerusakan justru banyak terjadi di daerah hulu, sehingga kerusakan tersebut sangat besar akibatnya terhadap bencana banjir," katanya.
Untuk itu, ia mengharapkan akan upaya nyata dari pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan khusus dalam penanggulangan kerusakan hutan, sehingga akibat rusaknya hutan tidak berdampak pada bencana banjir maupun bencana alam lainnya seperti kebakaran hutan.
"Salah satu langkah penting yakni mengeluarkan aturan tata ruang yang jelas. Pemerintah harus transparan, sebab mulai tahun 2010 ini tata ruang daerah sudah mulai disusun. Tidak hanya itu, jika aturan telah ada hal itu juga harus benar-benar diterapkan," tambah Arif.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010