Jakarta (ANTARA News) - Bangsa Indonesia saat ini memerlukan keteladanan dari kalangan "atas" atau pejabatnya untuk bisa menumbuhkan karakter bangsa yang belakangan dinilai sudah semakin luntur.

Demikian kesimpulan yang mengemuka pada diskusi dan peluncuran buku "Menyemai Karakter Bangsa" karya Yudi Latif di Galeri Jurnalistik ANTARA, Jakarta, Kamis.

Dalam dialog yang dihadiri sekitar seratus orang dari berbagai kalangan itu, penulis dan beberapa pembicara juga menggugat peranan pendidikan yang meniadakan posisi kesastraan dalam membangun karakter bangsa lewat kekuatan kata-katanya.

Para pembicara yang tampil adalah Wakil Menteri Pendidikan Nasional Prof.Dr. Fasli Jalal, Dirut Perum LKBN ANTARA Ahmad Mukhlis Yusuf, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Prof.Dr. Ahmad Mubarok dan sang penulis buku Yudi Latif.

Perlunya keteladanan yang dimulai dari pejabat itu disampaikan dengan lugas oleh wartawan senior Harian Kompas August Parengkuan agar rakyat di bawahnya bisa meniru hal yang sama.

"Pejabat perlu memberi contoh dengan menghormati hukum. Memang kita sangat memerlukan pembangunan kembali budi pekerti di tengah masyarakat kita. Budi pekerti mampu melewati segala sekat-sekat yang membatasi masyarakat," katanya sambil mencontohkan hilangnya rasa hormat kepada orang yang lebih tua di tengah masyarakat.

Sementara itu, Yudi Latif menyampaikan keprihatinannya dengan mengatakan kini terdapat dua bahasa yang mendominasi bahasa publik di tanah air, yaitu bahasa politik dan bahasa ekonomi, yang mempengaruhi hilangnya karakter bangsa Indonesia.

Bahasa politik, katanya mengutip Rushord Kidder (seorang pakar etika), selalu berbicara "siapa yang menang" dan bahasa ekonomi "siapa yang untung". Keduanya dengan jelas menghilangkan persoalan etika yang saat ini diperlukan.

"Kita bisa kehilangan seorang pemimpin dan kehilangan perekonomian, yang berarti hanya kehilangan seseorang dan sesuatu saja. Tetapi kehilangan karakter bangsa berarti kehilangan segala-galanya sebagai suatu bangsa," kata Yudi.

Lebih jauh ia menyebutkan tiga dimensi yang mempengaruhi pembentukan karakter bangsa, yaitu kesadaran tentang perbedaan sebagai suatu bangsa, ketegaran, dan moral bangsa.

"Sastra juga mengajarkan karakter tanpa harus menggurui lewat cerita-cerita yang membangun karakter bangsa. Masyarakat saat ini membutuhkan `role model` yang kuat," kata intelektual muda progresif itu.

Dirut Perum LKBN ANTARA Ahmad Mukhlis Yusuf mengatakan, kekuatan kata-kata memang haruslah diakui, karena mampu mengubah nasib suatu bangsa, seperti yang terjadi pada Republik Indonesia saat berjuang meraih kemerdekaannya. Kata-kata saat itu juga mampu menggambarkan potret zaman di Indonesia yang penuh dengan keteladanan, yaitu semangat patriotik sebagai suatu bangsa.

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok menyampaikan rasa kagetnya kalau buku Menyemai Karakter Bangsa memberikan peran sastra atau kata-kata yang begitu kuat dalam menciptakan suatu karakter bangsa.

"Sastra merupakan proses budaya suatu bangsa yang memandu tingkah kita laku sehari-hari, termasuk membangun etos kerja yang baik," katanya.

Perlunya role model atau keteladanan tersebut juga diakui oleh Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal yang menekankan perlunya membangun karakter bangsa secara bersama-sama semua komponen bangsa.

"Namun bagaimanapun juga perlu kita menghargai pemimpin kita," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010