Jakarta (ANTARA) - Ekonom senior Didik J Rachbini pada Sabtu (29/8) malam, menyampaikan kegelisahannya soal kondisi penanganan pandemi COVID-19 dan ekonomi Indonesia lewat video singkat yang dicuitkannya di akun @DJRachbini.
Sambil menunjukkan grafik harian kasus COVID-19 terkonfirmasi di sejumlah negara, ia menunjukkan perbandingkan kondisi Indonesia dengan negera tetangga, yang pada Kamis (27/8) mengalami peningkatan tertinggi menembus angka 3.000. Sementara Thailand, Malaysia, Vietnam, Australia, Singapura jumlah kasus hanya tinggal hitungan jari.
Golden time dari lockdown di Indonesia sudah tidak ada lagi, ujar Didik. Masyarakat sudah berkegiatan seperti biasa, bercampur baur di lapangan, dan saat bersamaan kasus positif COVID-19 terus meningkat.
"Apa implikasinya? Jika ini tidak terkendali, kita tidak bisa menyelesaikan masalah ekonomi. Dan ini akan menjadi keprihatinan dari masyarakat luas," ujar pendiri INDEF tersebut.
Pada sisi lain, ia mengatakan investor luar tentu akan melihat apabila protokol kesehatan di Indonesia tidak beres maka mereka tidak akan masuk ke sini. Jadi dengan membiarkan kebijakan penanganan COVID-19 seperti sekarang akan membuat kesulitan pemulihan ekonomi.
Dalam waktu dekat jumlah positif COVID-19 dapat mencapai 200.000, bahkan bisa saja menembus angka 300.000 kasus di Indonesia apabila tidak ada perubahan kebijakan kesehatan. Situasi tersebut sama dengan beberapa negara yang tidak berhasil menangani pandemi tersebut, seperti Filipina dan Amerika Serikat.
"Kita tidak perlu mencontoh kegagalan negera lain ya. Kita mencontoh tetangga-tetangga kita yang berhasil mengatasi dan menurunkan grafik dan kasus harian COVID-19 ini," kata Didik menyampaikan keprihatinannya.
Ia berharap pemerintah memperhatikan anggaran penanganan COVID-19 yang turun di 2021. "Jika dibandingkan usaha untuk bidang ekonomi, urusan COVID-19 ini tertinggal. Dan bahkan, sekarang masyarakat membayar sendiri tes swabnya. Sudah mulai kesulitan rumah sakit untuk mengatasi pasien," katanya.
Keterlibatan masyarakat
Ketua Dewan Pembina Gerakan Pakai Masker (GPM) Agus Martowardojo mengatakan semua masyarakat sepatutnya sadar bahwa krisis kesehatan itu berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi. Semua pertemuan-pertemuan yang melibatkan banyak orang tidak bisa dilakukan, tidak dapat beribadah di rumah-rumah ibadah, semua orang mengalami kondisi ekonomi yang sulit, kesempatan kerja hilang dan tidak bisa mencari nafkah yang memadai.
Indonesia, ujar mantan Gubernur Bank Indonesia itu, pernah mengalami dua krisis besar. Pertama, krisis sosial, politik dan ekonomi yang terjadi pada periode 1965-1966 yang sangat memprihatinkan di mana inflasi mencapai 592 persen, dan kedua pada 1997-1998 di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 13 persen dengan inflasi mencapai 82 persen dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500 menjadi Rp17.000.
Bukan tidak mungkin apa yang terjadi di dua periode krisis tersebut terjadi lagi. Sejarah juga telah mencatat dunia mengalami great depression di 1930-an pascapandemi influenza atau flu spanyol yang menewaskan puluhan juta orang secara global selama dua tahun di periode 1918-1920.
Tidak bisa memperdebatkan kesehatan atau ekonomi yang lebih penting karena keduanya harus selaras, dan jika tidak seimbang akan membahayakan Indonesia. Kesehatan tentu hal utama, tapi kalau ekonomi tidak berjalan, akan berat sekali dampaknya untuk masyarakat.
Dalam lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi rata-rata di angka lima persen, dan di kuartal pertama 2020 masih mencapai 2,97 persen. Tekanan sosial ekonomi akibat pandemi COVID-19 sudah pasti berdampak, dan ketika kuartal ketiga dan keempat pertumbuhan ekonomi tidak dapat dipertahankan di angka positif berarti terjadi resesi, dan perekonomian akan semakin berat bagi Indonesia di 2021.
Tentu Indonesia tidak ingin mengulang sejarah kelam tersebut, kata Agus. Namun itu mungkin itu tidak terhindarkan jika masyarakat tidak memulai bergerak secara sadar melakukan gaya hidup baru yang dapat mengurangi risiko penularan COVID-19 dengan menggunakan masker secara benar.
Untuk mengandalkan vaksin masih akan membutuhkan waktu, termasuk jika sudah ketemu harus mempehitungkan waktu produksi dan distribusinya.
Karenanya, penerapan protokol kesehatan dengan penggunaan masker secara benar itu lah yang, menurut dia, dapat menghindarkan Indonesia dari musibah besar krisis ekonomi ketiga. "Jadi masker ini untuk melindungi kamu dan masker mu lindungi saya. Selalu cuci tangan dan menjaga jarak," ujar dia.
Indonesia belum begitu bangga dengan kedisiplinan di tingkat masyarakat. Sekarang ini memang perlu untuk melakukan itu, demi membangkitkan kesehatan sekaligus ekonomi agar tidak terpuruk, lanjutnya.
Masker efektif
Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan Undang-Undang Karantina Kesehatan jika dilaksanakan dengan benar seharusnya dapat mengatasi pandemi COVID-19 di Indonesia. Dirinya cukup kaget dengan kenyataan banyak yang tidak paham maksud dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sebenarnya mengharuskan orang tinggal di rumah.
Pergerakan manusia akan memunculkan penularan baru. Jika PSBB dilonggarkan maka masyarakat harus menggantikannya dengan melaksanakan protokol kesehatan ketat dengan menggunakan masker secara benar, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak minimal satu meter dengan lainnya (3M).
Apabila tiga kombinasi itu dilakukan oleh masyarakat, menurut Pandu, risiko penularan jadi semakin dapat ditekan. Dari pemodelan yang dilakukannya, terlihat prediksi risiko tertular COVID-19 berdasarkan tindakan pencegahan menunjukkan jika tanpa pencegahan 30 persen berisiko tertular, dengan mencuci tangan dengan sabun 19,5 persen masih berisiko tertular, pakai masker kain saja 16,5 persen tertular, mencuci tangan dan memakai masker 10,7 persen risiko tertular, menjaga jarak minimal satu meter 4,5 persen berisiko tertular.
Sementara jika mencuci tangan dengan sabun, memakai masker dengan benar dan sekaligus menjaga jarak minimal satu meter dengan orang lain, maka risiko penularannya turun menjadi 1,6 persen.
"Vaksin dan obat itu bukan solusi sebenarnya, entah kenapa itu yang dikejar. Padahal dengan masker itu jauh lebih murah," kata Pandu.
Dalam ilmu wabah atau epidemiologi, ia mengatakan yang dicemaskan dari pandemi COVID-19 adalah keberadaan orang tanpa gejala yang mencapai hampir 80 persen. Mereka tidak terlihat sakit, namun di saluran nafasnya mengandung virus corona baru yang tinggi sekali.
Hanya dengan berbicara di rentang jarak satu meter, daya tularnya luar biasa bagi orang di sekitarnya, kata Pandu.
Baca juga: Kementerian Kesehatan kampanyekan disiplin pakai masker
Dalam uji empiris kasus penularan COVID-19 di Korea Selatan baru-baru ini, menurut dia, diketahui tetesan kecil atau droplet seseorang yang memiliki virus corona baru saat berbicara di ruangan tertutup yang menggunakan penyejuk udara (AC) masih akan melayang di udara.
Meskipun berjarak 10 meter, orang lain yang ada di ruangan tertutup yang sama itu masih dapat terpapar dan menghirupnya jika tidak menggunakan masker dengan benar.
"Yang enggak pakai masker kena semua. Itu uji empiris di Korea Selatan, dan semua barista yang pakai masker saat itu selamat semua," kata Pandu.
Ia lantas mengatakan penetapan zonasi sangat berbahaya jika tes usap atau swab test di setiap daerah rendah ditambah mobilitas penduduk sangat tinggi sehingga risiko penularan tetap tinggi. Zona hijau belum tentu hijau karena pergerakan penduduk yang luar biasa.
Baca juga: Menko Airlangga: Bangkitnya ekonomi dimulai dari disiplin pakai masker
Karenanya disiplin masyarakat menggunakan masker dengan benar, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak lebih dari satu meter menjadi perilaku pencegahan yang harus dilakukan, ujar Pandu.
Efek proteksi melaksanakan 3M tersebut terhadap risiko terinfeksi COVID-19 sangat besar. Dengan mencuci tangan dengan sabun secara benar dapat menurunkan 35 persen risiko tertular, menggunakan masker kain menurunkan 45 persen tertular, menggunakan masker bedah menurunkan 70 persen risiko tertular, dan menjaga jarak minimal satu meter dengan yang lain menurunkan risiko tertular hingga 85 persen.
Bersamaan dengan masyarakat ketat menjalankan 3M maka pemerintah harus aktif melakukan surveillance dengan memperbanyak tes usap (swab test), pelacakan, dan isolasi penyembuhan mereka yang terinfeksi di rumah sakit atau tempat khusus, bukan di rumah.
Pilihan masyarakat bukan justru tidak mempercayai keberadaan virus saat kondisi ekonomi keluarga semakin memburuk, namun memastikan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya disiplin menggunakan masker secara benar di setiap pergerakan, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak minimal satu meter dengan yang lainnya.
Baca juga: Kemenparekraf gelar Gerakan BISA dan Pakai Masker di destinasi wisata
Karenanya dalam kondisi pandemi COVID-19 sekarang ini, jika seseorang abai menggunakan masker dengan benar, sama saja pintu resesi terbuka pula bagi orang lain.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020