Jakarta (ANTARA News) - Puluhan ribu warga Haiti tidur di trotoar atau bergerombol di jalan-jalan di kota yang rusak berat, Kamis pagi buta, satu pertanda mengenai menggunungnya jumlah gelandangan menyusul gempa dahsyat sehari lalu.

Kendati bandara internasional Port-au-Prince tetap berfungsi dan penerbangan-penerbangan pembawa tim penolong dan bantuan mulai tiba, ada upaya-upaya bantuan seadanya di kota-kota terdekat ke ibukota Haiti, begitu warga Haiti berjuang mencari korban selamat di gedung-gedung runtuh.

Mayat berserakan di mana-mana, anak-anak kurus berjejer di sekolah-sekolah, para wanita berdiri di jalan-jalan penuh puing-puing dengan ekspresi dingin di wajah mereka, orang-orang berlindung di bawah terpal dan benang kapas.

Para warga yang putus asa menyulap truk-truk dan gerobak sorong menjadi ambulans dan pintu-pintu rumah menjadi tandu, berusaha mengangkut mayat dan mereka yang terluka, kendati mereka tahu bahwa alat-alat bantu itu mustahil membantu mereka menemukan korban.

Sebelum sinar mentari tenggelam, seorang pria di pusat kota Port-au-Prince memohon kepada sekumpulan warga agar membantunya menarik mayat-mayat dari reruntuhan gedung runtuh.

Di kawasan Bel Air di pusat kota, jalan-jalan dan trotoar ditutupi oleh orang yang tidur di matras, kursi plastik, dan kardus.

Orang-orang yang selamat mendirikan kemah-kemah yang dipenuhi oleh barang-barang tersisa mereka, termasuk makanan yang dicuri dari reruntuhan.

"Rumah-rumah yang masih berdiri dan jumlahnya sedikit juga retak-retak. Semua orang menilai rumah-rumah itu terlalu berbahaya (untuk ditinggali)," kata salah seorang di kawasan mewah itu, yang mendirikan kemah di trotoar bersama keluarganya.

Memang, kawasan itu sebagain besar susut menjadi puing-puing. Api menjilat-jilat dari kerangka sebuah bangunan runtuh.

Balkon-balkon ambruk ke tanah. Mobil-mobil terkubur di bawah bongkahan beton abu-abu seukuran meja makan. Jalanan dikotori oleh batu bata, kursi-kursi plastik rongsokan, dan porselen kaca yang berkilauan.

Gerombolan besar mengitari kota semalaman, membawa barang-barang kecil --periuk masak berisi sayur mayur-- dan balita-balita bertelanjang kaki dengan pandangan penuh ketakutan.

Banyak orang menyelimuti dirinya dengan seprai, ditambah udara yang menakutkan.

Beberapa orang mengatakan bahwa mereka meninggalkan rumahnya, bukan hanya karena bencana itu, tetapi juga rumor bakal datangnya tsunami.

Setiap saat gempa susulan menggetarkan kota, orang-orang berhamburan ke trotoar atau di taman-taman sembari menjerit dan meratap berdoa.

Di Washington, Menteri Luar Negeri AS Hillary Rodham Clinton mengatakan ada laporan penjarahan, kendati tidak sampai meluas.

Hillary mengatakan bahwa Divisi Lintas Udara ke 82 dari Angkatan Darat AS akan segera tiba di Haiti Kamis (Jumat WIB) guna membantu pasukan pemelihara perdamaian PBB dalam membantu menciptakan keamanan di negara itu.

"Di ambang bencana seperti ini, orang menjadi putus asa. Jika Anda memiliki bayi yang kelaparan di pangkuan Anda, Anda akan mencari apapun yang bisa Anda makan," kata Clinton dalam satu wawancara dengan CNN.

Dia mengatakan bahwa PBB tengah bekerja sama dengan sisa pemerintah Haiti guna memperbaiki sistem komunikasi negeri itu, yang memungkinkan warga memonitor kemana mereka mencari makanan, air bersih atau perawatan kesehatan.

Namun sebagian besar kota hidup tanpa penerangan listrik dan air bersih. Kolam berisi air selokan yang kotor luber ke trotoar depan rumah-rumah yang tinggal puing-puing.

"Bencana ini lebih buruk daripada badai. Tidak ada air bersih. Tidak ada apa-apa. Orang-orang lapar akan segera mati," kata Jimitre Coquillon, seorang asisten dokter yang bekerja di satu pusat pelayanan kesehatan yang dibentuk di sebuah tempat parkir sebuah hotel.

Jika saja ada upaya terorganisir untuk mendistribusikan makanan atau air, maka itu tidak terlihat di hari Rabu (sehari setelah gempa).

Di pusat kota, istana presiden berarsitektur Prancis penuh ornamen putih rusak berat, kubah-kubah di dua sisinya miring tidak karuan, sedangkan kubah utamanya hancur berantakan. (*)

Sumber: Mary Beth Sheridan dan Debbi dari Washington Post edisi 14 Januari 2010, disadur oleh Jafar Sidik

Oleh
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010