Uang yang tadinya mengembara di mana pun harus ada di pemerintah

Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyoroti kebijakan pemerintah dalam mengatasi krisis perekonomian akibat pandemi COVID-19.

Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun dalam keterangan persnya, di Jakarta, Sabtu, mengatakan ada ketidakcocokan antara solusi yang ditawarkan pemerintah dengan penyebab permasalahan.

Sorotan pertama Misbakhun yakni pada kebijakan pemerintah tentang penempatan dana di bank-bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).

Menurut Misbakhun, tidak ada negara G-20 atau pun anggota BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) yang mengatasi krisis pada masa pandemi ini dengan penempatan dana di bank.

“Metode itu sangat aneh. Kita tidak punya succes story arround the world (kisah sukses di seluruh dunia, Red) mengenai penempatan dana ini," kata Misbakhun dalam Forum Diskusi Salemba bertema APBN Sebagai Sarana Pemulihan Ekonomi Nasional.
Baca juga: Anggota DPR: Butuh kesadaran kolektif hadapi Normal Baru

Lebih lanjut, Misbakhun mengatakan kebijakan itu berpotensi membuat bank-bank yang ketempatan dana pemerintah terguncang pada akhir Desember mendatang. Penyebabnya, sesuai aturan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dana negara harus masuk ke rekening pemerintah
di Bank Indonesia pada 31 Desember atau tutup buku APBN.

“Uang yang tadinya mengembara di mana pun harus ada di pemerintah. Bank yang tadinya mendapat dana penempatan suddenly shocked (tiba-tiba terguncang, Red) karena duitnya harus mengalir ke rekening pemerintah di bank sentral,” ujarnya pula.

Misbakhun juga menyoroti penjaminan loss limit yang dipercayakan kepada BUMN di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu), di antaranya ialah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII).

Menurut Misbakhun penjaminan yang diserahkan kepada LPEI, PT SMI dan PT PII justru mengisyaratkan ketidakpercayaan Kemenkeu kepada institusi lain.

“Tiba-tiba mandatnya ke sana (BUMN di bawah Kemenkeu). Saya melihat adanya ketidakpercayaan Kementerian Keuangan terhadap di luar institusi Kemenkeu dan ini akan menjadi problem kita,” kata dia pula.

Selain itu, Misbakhun juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang hanya memberikan bantuan kepada kalangan miskin dan sangat miskin. Menurutnya, kelas menengah yang baru tumbuh, namun tiba-tiba turun kelas karena pandemi justru tidak dibantu.

Seharusnya jika pemerintah mau menggenjot konsumsi, kata Misbakhun, kelas menengah juga mesti dibantu.

“Kelas menengah yang baru turun kelas diatasi dengan apa, padahal mereka ini agresif dalam konsumsi,” katanya pula.

Karena itu, mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu itu menyebut pemerintah melakukan mismatch in policy atau ketidakcocokan dalam kebijakan. Sebab, bantuan sosial yang digelontorkan untuk masyarakat miskin dan sangat miskin tak serta-merta meningkatkan konsumsi dan daya beli.

“Apakah itu cukup mengangkat daya beli kita. Kompleksitas persoalan belum diselesaikan dengan kompleksitas tawaran solusinya,” katanya lagi.

Misbakhun menegaskan masalah pemerintah saat ini adalah keterbatasan uang. Ia berpandangan, selama ini pemerintah hanya mengandalkan utang ketika menghadapi keterbatasan dana. “Pemerintah jurusnya hanya satu utang, tetapi uang dari siapa. Berapa biayanya,” kata dia mempertanyakannya.

Karena itu, Misbakhun menawarkan kebijakan pelonggaran kuantitatif atau quantitative easing (QE) dalam bentuk cetak uang.

“Saya sejak awal bicara soal cetak uang, quantitative easing,” ujarnya lagi.

Namun, menurut dia, pemerintah tak menggubris tawaran itu. “Pemerintah kan mazhabnya bukan yang menyetujui cetak uang dengan alasan berbeda currency dengan Amerika, tetapi kan negara lain melakukannya,” ujar dia pula.
Baca juga: Puan minta pemerintah beri solusi pendidikan di masa pandemi
Baca juga: Puan: Pemerintah waspadai peningkatan kasus COVID-19 pasca-libur

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020