Tapi khusus untuk primata harus waspada, kita cegah, semua kebun binatang, taman satwa dan sejenisnya membutuhkan dan mesti punya standar operasional prosedur (SOP) karantina ketat
Jakarta (ANTARA) - Selama ini pembahasan mengenai pandemi COVID-19 jelas lebih dominan pada kasus yang terjadi pada manusia, karena memang virus corona jenis baru itu penyakit yang menginfeksi manusia.
Namun, di tengah upaya dunia menangani dan mencari solusi agar penyebarannya semakin dapat ditekan sekaligus untuk mencegah dan mengobati COVID-19, sempat muncul bahwa satwa pun bisa tertular.
Selain ada sejumlah peristiwa yang diindikasikan bahwa satwa tertular COVID-19, isyarat itu pun pernah disampaikan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) Siti Nurbaya Bakar.
Melalui pernyataan pers pada 16 Mei 2020, khususnya berkaitan dengan dampak COVID-19 sehubungan dengan pengelolaan kebun binatang, ia menegaskan bahwa lembaga konservasi (LK) umum antara lain Kebun Binatang, Taman Satwa, Taman Satwa Khusus, dan Taman Safari harus tahu kondisi satwa dan manajemen usaha di saat pandemi.
Ia mengatakan bahwa pandemi COVID-19 bukan saja terjadi pada manusia tetapi juga kehidupan satwa, khususnya satwa tersebut.
"Tentang satwa, karena dia milik negara yang kami titipkan kepada LK, maka sudah diantisipasi sejak awal terkait masalah COVID-19, yaitu pada sisi kecukupan kesediaan pakan satwa," katanya.
"Selain itu, antisipasi dan dengan identifikasi yang mendalam, kalau-kalau atau kita khawatirkan virus COVID-19 dapat menular kepada satwa," tambah Siti Nurbaya Bakar.
Sejumlah kasus
Beberapa peristiwa yang diindikasikan satwa tertular COVID-19 sempat dilaporkan kantor berita transnasional.
Pada 6 April 2020, kepala dokter hewan di Kebun Binatang Bronx, New York City, Amerika Serikat Paul Calle menyatakan seekor harimau Melayu bernama Nadia (empat tahun) di kebun binatang itu telah dinyatakan positif mengidap penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus corona jenis baru.
Ia menyebutnya sebagai "dalam kasus pertama yang diketahui untuk infeksi manusia ke hewan".
Harimau itu yang dites positif virus corona, diperiksa untuk penyakit COVID-19 setelah menderita batuk kering bersama dengan tiga harimau dan tiga singa lainnya.
Baca juga: Tempat penangkaran buaya dan rusa di Kendari disemprot disinfektan
Pengelola kebun binatang itu, Wildlife Conservation Society, mengatakan dalam sebuah pernyataan semua hewan itu diharapkan pulih.
Virus yang menyebabkan COVID-19 itu diyakini telah menyebar dari hewan ke manusia, dan beberapa hewan telah dites positif di Hong Kong.
Tetapi para pejabat percaya ini adalah kasus unik karena Nadia menjadi sakit setelah terpapar dengan seorang karyawan kebun binatang tanpa gejala. Namun, Calle mengatakan mereka tidak tahu karyawan mana yang menginfeksi harimau.
"Ini adalah pertama kalinya ada di antara kita yang mengetahui kasus seseorang menginfeksi hewan dan hewan itu jatuh sakit," kata Calle.
Kasus lain adalah pada kejadian seekor anjing di Hong Kong dan kucing di Belgia, yang juga dilaporkan terinfeksi penyakit yang disebabkan virus corona jenis baru itu.
Dalam amatan konservasionis satwa liar Indonesia Tony Sumampau soal satwa yang tertular COVID-19 ini memang tidak mudah untuk dipastikan.
"Kita bisa ikuti di AS diteliti lagi, khususnya dari mana tertularnya. Apakah tertular dari manusia atau lainnya. Sejauh ini, masih berupa dugaan atau hipotesa saja," kata Sekjen Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI) itu.
Ia menegaskan bahwa konfirmasi apakah satwa sudah tertular COVID-19 memang tak mudah karena tidak bisa "ujug-ujug" keluar pernyataan yang valid dengan dukungan ilmiah, termasuk kasus di AS, Hong Kong maupun Belgia itu.
Hanya saja, Tony Sumampu yang juga Koordinator Forum Satwa Liar Indonesia (FOKSI) itu mewanti-wanti perlunya kewaspadaan pada satwa jenis primata.
"Tapi khusus untuk primata harus waspada, kita cegah, semua kebun binatang, taman satwa dan sejenisnya membutuhkan dan mesti punya standar operasional prosedur (SOP) karantina ketat," katanya.
Berpotensi
Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi menyatakan bahwa hingga kini tidak ada bukti bahwa virus corona masuk ke dalam kategori penyakit zoonotik atau dapat menular melalui hewan ke manusia.
"Sampai sekarang tidak terbukti bahwa corona itu adalah penyakit zoonotik. Artinya bukan ditularkan dari hewan ke manusia," katanya.
Baca juga: Raih penghargaan KLHK, Aceh Timur mesti giatkan jaga upaya konservasi
Ia mengatakan kejadian di Wuhan, China, yang awalnya diduga hewan merupakan salah satu penyebab penyakit itu menular ke manusia. Namun, setelah dilakukan penelitian hal itu sama sekali tidak terbukti.
"Iya, tapi kemudian setelah penelitian lebih lanjut kan tidak menular melalui hewan," katanya.
Meski bukti ilmiah belum banyak diketahui mengenai satwa yang sudah tertular COVID-19, namun pakar mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra mengingatkan bahwa potensi penularan itu mungkin.
Penularan penyakit dari manusia ke hewan yang disebut dengan istilah zooanthroponosis dan biasanya terjadi karena kecocokan reseptor membuat virus itu, kata dia, dapat menempel ke inang di hewan dan bereplikasi atau memperbanyak diri.
Kondisi itu juga menandakan bahwa COVID-19 itu jangkauannya luas karena tidak hanya dapat terjadi penularan sesama manusia tapi juga antara manusia ke hewan terutama mamalia.
Soal potensi COVID-19 dapat menular ke hewan melalui manusia, juga diingatkan pakar patologi dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) Prof Agus Setiyono
Hal itu bisa terjadi karena ada kecocokan reseptor dan kemampuan virus untuk bermutasi, tapi memang diakui belum ada bukti virus yang ditularkan ke hewan itu akan menulari manusia lagi.
"Memang potensi itu dimungkinkan ketika kemudian bisa menyeberang ke hewan," katanya.
Virus adalah mikroorganisme yang memiliki kemampuan mutasi.
Dia mengambil contoh kemampuan mutasi virus influenza A penyebab flu burung, yang sama dengan Sars-CoV-2 merupakan jenis asam ribonukleat atau ribonucleic acid (RNA), dengan kemampuan mutasi "antigenic drift" dan "antigenic shift".
Ia menjelaskan "antigenic drift" adalah ketika virus mengalami perubahan kecil seiring waktu ketika bereplikasi, terakumulasi sehingga sifat antigeniknya berbeda dan tidak dapat dikenali oleh sistem kekebalan tubuh.
Sedangkan "antigenic shift" adalah ketika terjadi perubahan mendadak yang menghasilkan jenis protein yang baru atau kombinasi protein yang baru.
Agus Setiyono menyebut hal itu dilakukan virus untuk bertahan hidup, karena virus akan mencari lingkungan yang sesuai untuk bisa hidup atau menyesuaikan diri.
Ia menyebut semua itu adalah kemungkinan dan masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
Lepas dari diskursus yang ada terkait satwa tertular COVID-19 ini masih menjadi bahasan ilmiah.
Barangkali titik yang mesti dipahami adalah tetap waspada dengan semua potensi dan kemungkinan bahwa hal itu bisa terjadi.
Baca juga: KKP lepasliarkan dua "fosil hidup" di Sumatera Utara
Baca juga: Masyarakat anggap pemusnahan satwa liar bukan solusi batasi COVID-19
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020