Kita ini obesitas peraturan, karena aturan dari pusat kurang lebih yang berhubungan dengan investasi itu 8.800
Jakarta (ANTARA) - Pada sebuah diskusi informal yang diikuti beberapa orang, seorang ibu rumah tangga dengan nada cukup haru bercampur bangga menceritakan perjalanan produknya hingga memperoleh sertifikasi.
Haru karena pengembangan usahanya yang dijalankan penuh liku. Bangga karena liku-liku usaha kelas rumah tangga yang telah bertahun-tahun digeluti akhirnya mendapat sertifikasi.
Sertifikasi itu memungkinkan produknya dipasarkan pada skala lebih luas. Bukan hanya di warung kelontong seperti selama ini, tetapi juga berpeluang mengisi rak di toko-toko modern setingkat minimarket dan supermarket.
Produknya berupa sambal pecel itu merupakan usaha rumahan. Produk inilah yang telah bersertifikasi tetapi dia juga menjual aneka bumbu dapur yang dikemas dalam plastik-plastik ukuran kecil.
Dia bercerita bahwa secara tekun dan rutin mengikuti semua tahap demi sebuah sertifikasi untuk produknya. Dibutuhkan waktu setahun untuk mendapatkan sertifikasi Pangan
Industri Rumah Tangga (P-IRT).
Selama kurun waktu tersebut, dia rajin mengikuti beberapa kali pelatihan. Itu semua dijalaninya dengan tekun walaupun harus naik-turun angkutan kota (angkot).
Mendengar cerita itu, beberapa orang yang juga punya produk rumahan tak menyangka begitu panjang waktu untuk sertifikasi sebuah produk sekelas hasil rumahan sekalipun.
Orang-orang dalam obrolan sebelum terjadi wabah COVID-19 itu tidak mempersoalkan sertifikasi sebagai syarat agar sebuah produk mendapat izin peredaran secara luas.
Mereka hanya menyoroti prosedur panjang dan lamanya proses yang harus dilalui.
Hal itu membuat sebagian pemilik usaha kecil malas mengurus sertifikasi walaupun produknya punya potensi untuk bisa berkembang. Juga bahan-bahan untuk produksi dari bahan berkualitas dan cara produksinya yang baik.
Rumit
Prosedur dan jangka waktu sertifikasi produk dan izin edar ini tampaknya masih menjadi persoalan di masyarakat. Hal itu tak jarang memudarkan kreativitas pemilik usaha kecil untuk terus berinovasi.
Bukan hanya industri kecil dan mikro, ternyata untuk usaha dengan skala yang lebih luas pun menghadapi persoalan yang relatif sama. Yakni prosedur perizinan dan jangka mengurus perizinan itu.
Baca juga: BKPM sebut animo investor tidak menurun di tengah wabah Corona
Prosedurnya dinilai masih berbelit-belit. Sedangkan jangka waktu mengurus perizinan itu tidak pasti.
Nada kekesalan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam sebuah webinar beberapa hari lalu lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa rumitnya mengurus izin usaha.
Selain persyaratannya, juga birokrasinya yang belum sesuai harapan.
Salah satunya terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Bukan soal substansi Amdal-nya tetapi prosedur dan kepastian waktu dan biaya saat mengurusnya.
Dokumen persyaratan itu adalah "hantu" bagi orang yang ingin membuka usaha tertentu yang mengharuskan adanya Amdal. Dokumen itu menjadi "ladang" bagi oknum tidak bertanggung jawab untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Bahlil menyodorkan fakta seorang yang ingin investasi dengan mengolah kebunnya. Investasinya senilai Rp600 juta di lahan seluas 3.000 meter persegi (m2).
Amdal ini wajib, tapi kadang "dibuat-buat". Urusan perizinan dan Amdal untuk mengolah kebun seluas itu hingga menghabiskan biaya Rp1 miliar.
"Investasi cuma 3.000 meter persegi, bikin kebun, cuma Rp600 juta, tapi biaya Amdal bisa Rp1 miliar. Dimana itu uang habis? Di kabupaten, kota, polisi hutan, itu hantu yang main," ujar Bahlil.
Banyak Aturan
Untuk usaha kelas menengah memang ada ketentuan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). Sementara untuk usaha kelas besar tetap membutuhkan Amdal, tapi dengan syarat yang tidak dibuat rumit.
"Kalau terlalu banyak dibuat ribet, itu nggak akan selesai-selesai apa yang jadi kepentingan pengusaha," ujar dia.
Baca juga: Bangladesh tawarkan ragam kemudahan investasi ke pengusaha Indonesia
Sebagai mantan pengusaha, Bahlil mengaku pengurusan perizinan lokasi di pemerintah daerah bisa memakan waktu hingga beberapa tahun dan belum tentu keluar izinnya. Demikian pula dalam hal pengurusan izin di kementerian/lembaga.
Bahlil mengakui terlalu banyak aturan di Indonesia yang membuat daya saing investasinya kalah dengan negara lain. Padahal, ke depan bukan yang besar mengalahkan yang kecil, tapi yang cepat mengalahkan yang lambat.
Ibarat manusia, Indonesia ini yang besar tak mampu mengangkat diri sendiri karena terbebani aturan yang terlampau banyak.
"Kita ini negara besar, ngangkat dirinya susah karena aturan terlalu banyak. 10 ribu aturan lebih. Saya andai ada masa jabatan sampai lima tahun belum tentu hapal itu aturan," katanya.
Obesitas aturan
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga menyoroti banyaknya aturan yang menghambat investasi di Indonesia. Hal itu perlu ditata ulang agar perekonomian bisa segera bangkit.
"Kita ini obesitas peraturan, karena aturan dari pusat kurang lebih yang berhubungan dengan investasi itu 8.800, Peraturan Menteri 14.800 lebih, Peraturan Daerah hampir 16 ribu. Begitu banyak peraturan sampai kita bilangnya obesitas regulasi," kata Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani dalam sebuah diskusi daring.
Baca juga: Bahlil sebut ada gubernur tak delegasikan kewenangan perizinan
Karena banyaknya regulasi tersebut, maka perlu ada strategi untuk menyederhanakan dan menyelaraskan kebijakan-kebijakan tersebut agar tak membuatnya tumpang-tindih. Tumpang-tindih kebijakan itulah yang kerap jadi hambatan dan memperburuk iklim investasi.
Saat ini Indonesia berkompetisi dengan negara-negara tetangga untuk bisa menjaring relokasi investasi berbagai negara dari China. Sejumlah negara seperti AS, Eropa dan Jepang yang akan keluar dari China itu tentu harus bisa digaet masuk ke Indonesia.
"Kita ini competing (bersaing) dengan negara lain yang terus melakukan reformasi peraturan dan produktivitasnya sehingga ini juga harus kita lakukan," ujarnya.
Rosan menyebutkan saat ini adalah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi di dalam negeri.
"Ini PR (pekerjaan rumah) kita, apalagi di tengah COVID-19 kita ketahui banyak yang di-PHK meningkat, yang dirumahkan bertambah, angka kemiskinan meningkat sehingga menciptakan lapangan pekerjaan jadi hal utama ke depan," katanya.
Karena itu, segala pekerjaan rumah yang menghambat investasi, sebaiknya segera diberesi. Terlebih kondisi saat ini cukup menantang untuk menarik investasi masuk karena banyak negara sumber investasi yang juga terkena dampak COVID-19.
Semua itu untuk tujuan agar dunia usaha baik yang kecil, menengah serta besar kembali bergerak dan bangkit. Dengan demikian, ekonomi nasional yang sedang babak belur ini segera pulih.
Cerita produsen sambal pecel dan orang yang ingin mengolah kebunnya dengan modal Rp600 juta pada lahan 3.000 m2 tetapi izinnya habis Rp1 miliar itu lebih dari cukup untuk menggambarkan realitas yang kadang terjadi.
Karena itu diperlukan pelayanan birokrasi dan aturan lebih kondusif yang mengedepankan narasi "kalau bisa dipermudah untuk apa dipersulit?" dan "kalau bisa dipercepat untuk apa diperlambat?".
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020