Jakarta (ANTARA News) - Hari ini, empat belas hari lalu, Presiden RI keempat KH Abdurrahman Wahid, wafat di usia ke-69, dan hanya beberapa jam setelah guru bangsa ini mangkat, masyarakat mengusulkannya menjadi pahlawan nasional.

Tapi, catatan dan testimoni mengenai sumbangsih kyai besar ini pada bangsa, peradaban dan manusia, mengalir deras dan terlampau besar untuk dibingkai oleh sekedar gelar pahlawan nasional.

Bahkan, mantan Ketua MPR Amien Rais menganggap tokoh yang akrab disapa Gus Dur ini otomatis pahlawan nasional.

Jadi, tak ada satu keraguan pun untuk menyebut Gus Dur pahlawan nasional karena dia telah melampaui dirinya dalam memajukan nilai-nilai kemanusiaan yang juga diperjuangan para pahlawan dan pencerah besar dunia, semasa dan sebelum masanya.

Salah satu nilai kepahlawan yang menonjol darinya adalah pembelaan heroiknya terhadap kesetaraan. Tak hanya ras, tapi juga kesempatan sosial, hak politik, jender, dan praktik berkeyakinan.

Tema kesetaraan pula yang menjadi salah satu judul agung perjuangan tokoh-tokoh besar manusia, dari era Yunani kuno, zaman para nabi, revolusi-revolusi sosial seperti Revolusi Prancis, dekolonisasi Asia dan Afrika, hingga perjuangan memperoleh hak-hak sipil di beberapa dekade lalu.

"Perjuangan mencapai kesetaraan adalah tema besar dalam sejarah dunia," kata penulis Amerika J.R. Pole, yang dalam bukunya "The Pursuit of Equality in American History" menyebut Revolusi Amerika diawali oleh semangat kesetaraan.

Gus Dur memperjuangkan kesetaraan seperti itu.

Dia ikhlas dan tak henti mendampingi kelompok lemah seperti Nabi Musa AS membela minoritas Bani Israel di zaman Firaun, atau seperti Cipto Mangunkusumo, Danudirja Setiabudi dan Suwardi Suryaningrat dalam memelopori perlawanan damai mendobrak "politik kelas" kolonial Belanda.

Gus Dur juga memproklamasikan kebhinekaan seterang-terangnya.

Begitu menjadi Presiden RI, dia memulihkan hak-hak minoritas keturunan Tionghoa, mengizinkan Papua mengenakan identitasnya, bahkan mengawali peta damai di Aceh.

"Kami merasa diperhatikan dan dihargai sebagai etnis yang minoritas di negeri ini," kata tokoh etnis Tionghoa Madura, Kosala Mahinda (Antara, 31/12).

Langkahnya itu mungkin semonumental Presiden AS ke-16 Abraham Lincoln yang menghapus perbudakan, Nelson Mandela yang menumbangkan diskriminasi ras di Afrika Selatan, atau Martin Luther King yang berjuang untuk hak-hak sipil warga kulit hitam AS.

Membebaskan

Gus Dur paham benar bahwa kesetaraan adalah inti demokrasi dan jiwa bangsa majemuk seperti negerinya Indonesia.

Kesetaraan melahirkan sikap toleran, dan sikap ini pula yang membuat mayoritas penduduk Nusantara menerima Islam di abad lalu, atau Andalusia menerima Bani Ummayyah 11 abad silam seperti sejarawan Inggris Martin Sharp Hume menggambarkannya dalam "Spanish People."

Bersama demokrasi, mengutip profesor linguistik Noam Chomsky, kesetaraan itu esensial bagi kelangsungan hidup manusia.

"Kesetaraan berlaku universal, abadi, dan membebaskan manusia," sambung filsuf Alexis de Tocqueville.

Tetapi kesetaraan yang dikonsepsikan dan diperjuangkan Gus Dur tak besar karena pemikiran luar masyarakatnya semata. Sebaliknya, dia gali dari masyarakatnya dan tumbuh dari fondasi berketuhanan yang kokoh.

Dia berilmu amat tinggi, memahami luar dalam bangsanya, dan konsisten bersisian dengan kaum lemah.

Dengan kecerdasannya dia sebenarnya bisa sampai di universitas-universitas hebat dunia, namun ulama besar ini memilih memuliakan dirinya bersama rakyat kecil.

Penulis Australia Greg Barton melukiskan pemihakan Gus Dur pada rakyat kecil itu pada salah satu bagian buku, "Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid."

Pada 1970an, pesantren berjuang keras mendapatkan pendanaan pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Gus Dur memprihatinkan keadaan ini bakal melunturkan nilai tradisional pesantren, tetapi dia juga mempedulikan kemiskinan pesantren.

Kerisauan itu membuatnya urung belajar di luar negeri dan memilih mengembangkan pesantren. Beberapa tahun kemudian, dia tak saja berhasil memberdayakan pesantren, namun juga mereformasi Nahdlatul Ulama.

Harapan

Gus Dur adalah teladan untuk kesederhanaan, kepercayaan diri, keikhlasan, pengenalan mendalam atas banyak tema hidup, dan tentang hidup yang meninggikan esensi.

Dia mengajarkan keberanian seperti Rasulullah menitahkan umatnya, "qulil-haqqa walau kaana murran (Katakanlah kebenaran itu walaupun pahit)."

Bagi mereka yang mengikuti politik era 1980an dan awal 1990an di mana Soeharto kuat mencengkram dan hampir semua orang membeo kepada Soeharto, Gus Dur adalah salah seorang tervokal dari sedikit orang yang berani kritis.

Kritik tajamnya yang selalu menghias media asing seperti BBC karena media nasional dimandulkan rezim, telah menyemangati para pembela kaum terpinggirkan, seperti pada kasus Kedung Ombo dua dekade silam.

"Dia adalah harapan demokrasi," kata kolumnis Inggris, Gideon Rachman dalam blognya, blogs.ft.com/rachmanblog (31/12).

Gus Dur juga mengajari bangsanya tentang demokrasi dan kemanusiaan, tanpa ke luar dari identitas lokal bangsanya, karena dia memang besar dari perut rakyat.

Dia intelektual yang secara harmonis menginderai benar suhu tubuh bangsanya, sekaligus cerdas menyikapi atmosfer yang melingkupi bangsanya.

Konstruksinya mengenai demokrasi dibangun dari akar bangsanya, tidak mentah-mentah menelan konsepsi asing, bahkan secara kultural seeklektis pendahulunya, Bung Karno.

Mendobrak

Dalam pemerintahannya yang singkat, sesuai nama tengahnya "ad-Dakhil" yang juga nama penakluk Spanyol 12 abad lalu Abdurrahman ad-Dakhil, Gus Dur mendobrak banyak hal yang justru prinsipil dalam berdemokrasi.

Dia dudukkan tentara di tempatnya, dia sapih polisi dari militerisme, dia dorong supremasi sipil dalam bernegara.

Lengannya tak berlumur darah. Ucapannya, meski nyeleneh, selalu memiliki landasan teologis, intelektual dan sandaran norma sosial yang kuat.

Semua sikap, kata dan lakunya dibaktikan untuk yang terpinggirkan dan kelompok yang mesti diayomi oleh kaum yang lebih banyak.

Tiga puluh hari sebelum meninggal dunia, dalam derita fisik tak terperi, dia menjaminkan dirinya untuk dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.

Ini adalah bukti dia tak berhenti membela yang terzalimi, sekaligus abadi berjuang untuk kemanusiaan.

Segala sumbangsih, pemikiran, sikap dan lakunya jauh melampaui dirinya. Dan ini, mengutip sejarawan Anhar Gonggong, adalah esensi dari pahlawan.

Dua reformis ikonik yang acap berseberangan dengannya, Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais, bahkan memaklumatkan semua ukuran pahlawan nasional telah dipenuhi Gus Dur sehingga dia otomatis pahlawan nasional.

"Sudah selayaknya Gus Dur mendapatkan gelar pahlawan nasional, siapa pun atau pihak mana pun tidak perlu lagi mempersoalkannya," kata Amien Rais di Malang, Rabu pekan lalu (Antara, 2/1).

Tapi, jika gelar itu sulit untuk segera disematkan kepadanya karena diskusi kepahlawanan menjadi menjadi demikian politis seperti disebut editorial Media Indonesia (7/1), maka Gus Dur tetaplah pahlawan.

Pecinta kemanusiaan yang memahami benar berketuhanan dan pembaru dari semua pembaru itu bahkan lebih dari sekedar pahlawan nasional. Dia pahlawan kemanusiaan, dia pahlawan peradaban. (*)

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010