Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengapresiasi kebijakan relaksasi dari OJK yang telah menyetujui izin sejumlah perusahaan untuk bertransaksi produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi secara digital.
"Upaya relaksasi kepada pelaku usaha produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi atau unit link untuk melakukan pemasaran secara digital merupakan langkah yang tepat dalam merespons pandemi," kata Ira Aprilianti dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Ira mengingatkan bahwa akibat pandemi, masyarakat mengurangi kegiatan fisik yang mengharuskan adanya pertemuan secara langsung dan memanfaatkan kegiatan melalui digital, misalnya investasi daring.
Baca juga: AAJI minta OJK relaksasi tanda tangan digital antisipasi COVID-19
Ia menjelaskan, penggunaan teknologi digital pada asuransi memang sudah cukup berkembang, contohnya pada asuransi kesehatan daring, di mana pengguna telekesehatan sudah mencapai 32 juta orang.
Terkait kebijakan relaksasi pemasaran produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi, Ira berpendapat bahwa langkah ini merupakan langkah positif guna memberikan stimulus pada pasar dan menggenjot untuk mitigasi penurunan premi asuransi.
Namun, lanjutnya, OJK harus tetap memperhatikan perlindungan konsumen dan mitigasi risiko melalui pedoman atau aturan yang jelas.
“Pedoman tersebut selain harus disusun melalui dialog antar stakeholders, juga harus melibatkan asosiasi dalam memastikan penegakan kebijakan. Dengan begitu, ada pertukaran informasi yang aktif dilakukan oleh regulator bersama stakeholders terkait yang akan mendorong pasar keuangan lebih prudent di mata pelaku usaha dan nasabah. Hal ini penting agar transformasi digital dapat mendorong kelancaran pasar keuangan tanpa mengurangi pentingnya mitigasi risiko dan perlindungan konsumen," ucap Ira.
Baca juga: Askrindo terapkan aplikasi CRM, tingkatkan efektivitas pemasaran
OJK memperkirakan terjadi pengurangan bisnis asuransi yang tergambar melalui statistik penurunan premi industri asuransi sampai dengan Juni 2020, yaitu sebesar 10 persen pada premi asuransi jiwa dan 2,3 persen pada premi asuransi umum dan reasuransi berdasarkan data OJK.
Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR RI Junaidy Auly menginginkan OJK dapat mengambil langkah yang kongkrit untuk menyelamatkan kinerja industri asuransi yang beberapa perusahaan di antaranya mengalami goncangan.
"Perlu langkah kongkrit dan serius dari OJK untuk menyelesaikan masalah ini, misalnya dengan menyusun peraturan untuk memberikan efek jera kepada pelaku industri yang cenderung melampaui batas sehingga berpotensi merugikan nasabah," kata Junaidi Auly.
Menurut politisi Fraksi PKS, sejumlah kasus gagal bayar asuransi baru-baru ini disinyalir antara lain kesalahan pengelolaan manajemen, likuiditas yang dialami akibat pandemi COVID-19, hingga minimnya pengawasan.
Untuk itu, ujar dia, OJK sebagai regulator juga harus memperketat pengawasan.
Junaidi berpendapat bahwa selama ini ada regulatory supervisory gap, yakni ketimpangan antara peraturan yang demikian ketat tetapi dinilai tingkat pengawasannya lemah.
"Jika tidak ada perbaikan dalam hal pengawasan, dikhawatirkan kasus serupa akan terulang kembali yang akibatnya nasabah dirugikan dan masyarakat tidak akan percaya lagi dengan asuransi," ucapnya.
Ia juga mendesak kepada perusahaan asuransi yang bermasalah untuk terbuka dan transparan dalam menyampaikan informasi kepada nasabah terutama keterbukaan kondisi keuangan perusahaan.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020