Jakarta (ANTARA) - Pengaturan penyiaran berbasis internet yang ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum merupakan awal keresahan PT Visi Citra Mitra Mulia (INews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) hingga mengajukan uji materi Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi pada awal Juli, kuasa hukum INews TV dan RCTI Imam Nasef mengatakan negara harus hadir di dalam aktivitas penyiaran sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negaranya, termasuk dalam yurisdiksi virtual.
Apalagi migrasi pengguna siaran konvensional ke siaran berbasis internet signifikan, yakni berdasarkan studi Nielsen pada 2018, durasi menonton platform digital mendekati durasi menonton televisi konvensional. Sayangnya migrasi itu, tidak diiringi kewajiban penyedia layanan over the top (OTT) tunduk pada UU Penyiaran.
Pengaturan terhadap penyiaran melalui internet disebutnya tidak bisa hanya mengandalkan swaregulasi dari penyedia layanan aplikasi atau etika internet dari warganet.
Pemohon menyadari tidak sesederhana menambahkan layanan siaran termasuk ke dalam pengaturan UU Penyiaran, melainkan diperlukan pendekatan konvergensi dengan penyatupaduan beberapa undang-undang, yakni UU Telekomunikasi, UU ITE dan UU Penyiaran.
Namun, RCTI dan INews TV menilai UU Penyiaran yang diujikan dapat menjadi langkah pertama implementasi keterpaduan tiga undang-undang itu.
Baca juga: UU Penyiaran digugat RCTI ke MK sebab tak atur Netflix dan Youtube
Bukan hal sama
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam keterangannya menyanggah dalil konten siaran melalui internet harus dimasukkan ke dalam bagian penyiaran.
Direktur Jenderal Penyelenggara Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli secara virtual dalam sidang lanjutan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (26/7), mengatakan menyeragamkan pengaturan sejumlah media hanya karena menghantarkan bentuk informasi yang sama merupakan sebuah kekeliruan.
Menyeragamkan aturan penyiaran dengan layanan audio visual melalui internet justru akan menimbulkan pemaknaan yang keliru terhadap definisi penyiaran.
Dalam hal penyiaran, pemerintah memberikan alokasi khusus dalam menggunakan spektrum frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam terbatas untuk lembaga penyiaran televisi penyelenggaraan siaran free to air. Keterbatasan itu diatur begitu rigid untuk kemanfaatan seluas-luasnya bagi masyarakat.
Kegiatan penyiaran pun hanya dilakukan berdasarkan izin Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), Lembaga Penyiaran Publik (LPP), dan Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) yang berbadan hukum Indonesia dan bidang usahanya khusus penyiaran, serta wilayah layanannya dibatasi di Indonesia.
Masyarakat tidak dapat memilih program siaran yang ditayangkan oleh lembaga penyiaran karena penayangan program siaran tergantung kepada lembaga penyiaran.
Sementara dalam konten layanan audio visual OTT, pemirsa dapat memilih sendiri konten yang ingin dilihat. Selain itu, layanan OTT sangat beragam, tidak hanya penyedia layanan konten audio visal, sehingga pengaturannya tergantung dari jenis layanan, antara lain Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang ITE, Undang-Undang Pers, Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang Perdagangan, Undang-Undang Hak Cipta hingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Nyatanya pengaturan penyedia layanan OTT di mana pun memang tidak pernah mudah. Untuk di Indonesia, dari berbagai macam peraturan dan perundang-undangan, proses operasionalisasi, termasuk pengaturan OTT lebih jauh tertera dalam surat edaran Menteri Kominfo. Regulasi yang lebih tinggi dari surat edaran hingga kini masih dipersiapkan untuk bisa menjangkau itu semua.
Baca juga: Masyarakat disebut terancam tak lagi bebas gunakan fitur siaran medsos
Banyak platform media sosial ikut terseret
Keterangan yang diberikan Kominfo mungkin jauh dari bayangan dua stasiun TV itu yang awalnya hanya menyebut penyedia layanan video melalui internet Youtube dan Netflix dalam permohonannya.
Tidak hanya dua penyedia layanan OTT itu, Ramli menyebut apabila gugatan RCTI dan INews TV dikabulkan, implikasinya sangat besar dan luas serta dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam industri penyiaran mau pun dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan siaran dalam platform media sosial, seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live dan Youtube Live sebagai penyiaran yang wajib berizin. Tidak hanya itu, penggunaan telepon video melalui aplikasi perpesanan, bahkan layanan pertemuan daring pun dapat pula masuk dalam penyiaran.
Apabila kegiatan dalam media sosial itu juga dikategorikan sebagai penyiaran, maka perorangan, badan usaha, ataupun badan hukum akan dipaksa memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.
Lebih jauh, dampak langsungnya adalah perorangan atau badan usaha yang tidak dapat memenuhi persyaratan perizinan penyiaran itu menjadi pelaku penyiaran ilegal. Pengguna fitur siaran media sosial tanpa izin itu selanjutnya akan ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana.
Belum lagi ketidakpastian hukum pembuat konten siaran di Indonesia terbatasi, sementara pelaku siaran melalui layanan OTT di luar Indonesia tidak mungkin terjangkau dengan hukum Indonesia.
Untuk penertiban konten agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat, Ramli menilai penertiban layanan konten di platform OTT lebih mudah dibandingkan penertiban lembaga penyiaran, misalnya dengan menggunakan Undang-Undang ITE, Undang-Undang Hak Cipta terkait pelanggaran hak cipta, lagu dan film dengan mekanisme yang sudah ada, Undang-Undang Pornografi yang memungkinkan penghilangan konten atau penutupan saluran melalui platform.
Ia mencontohkan sudah ratusan saluran-saluran OTT yang ditutup oleh Kominfo karena menyiarkan konten negatif, seperti pornografi atau radikalisme.
Di sisi lain, lembaga penyiaran yang ada, termasuk para pemohon, sama sekali tidak dilarang untuk masuk ke bagian dari OTT dan berhak untuk membuat layanan-layanan lain dalam bentuk OTT. RCTI dan INews TV diketahui memiliki saluran resmi di Youtube dengan jutaan pengikut setia.
Ramli mengakui diperlukan undang-undang baru yang mengatur sendiri layanan siaran melalui internet dan hal itu merupakan ranah pemerintah dan DPR. Hingga hal itu terjadi, untuk sementara, Kominfo meminta agar Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pemohon dan menyatakan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Baca juga: Sidang MK, pengaturan siaran lewat internet disebut ambigu
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020