Hati perasaan yang main harus menyatu dengan alat musik kita
Mataram (ANTARA) - Nama kesenian tradisional "Kebangru'an" mungkin masih asing di telinga masyarakat awam khususnya di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat yang notabene tempat lahirnya kesenian tersebut.
Bagi mereka yang sudah mengetahuinya, kesenian tradisional Kebangruan itu adalah hal yang sakral alias tidak sembarangan orang untuk mempertunjukkannya. Memang wajar, mengingat kata Kebangruan itu sesuai dari kata dasar "Bangr'u" dalam Bahasa Sasak, yakni kesurupan/kerasukan roh leluhur.
Dahulunya, kesenian tradisional itu dipertunjukkan di tempat tersembunyi yang tak boleh diketahui oleh orang. Mereka mengundang roh halus untuk masuk ke raga penarinya kemudian ditemani oleh seni musik kebangruan tersebut.
Para penari itu mengikuti irama seragam dari alunan musik yang ditampilkan si empunya. Lamanya permainan sesuai keinginan roh halus yang merasuki tubuh sang penari. Bisa sepekan, dua pekan sampai satu bulan.
Bahkan musik kesenian tradisional Kebangruan itu juga bisa digunakan untuk menyembuhkan seseorang yang terkena kesurupan. Atau digunakan sebagai media penyembuhan.
Memang horor jika melihat pertunjukan kesenian tradisional yang dipenuhi dengan aura mistis itu.
Kini, kesenian tradisional telah bermetamorfosis dari kesenian yang sakral itu ke seni pertunjukan yang dapat disaksikan oleh siapa saja.
"Sebelum kita angkat (nama kesenian Kebangruan) tidak ada yang berani, sangat sakral," kata Mamik Rihin yang merupakan generasi ketiga kesenian tersebut.
Bahkan, kata dia, saat itu kesenian tradisional itu tak ada namanya. Belakangan dirinya melalui Lembaga Seni Menduli Selayar (LSMS) yang berdiri pada 2013 memberi nama "Kebangruan".
Dituturkannya, saat dirinya hendak mempertunjukkan kesenian tersebut sempat mendapatkan tingkat resistensi yang tinggi dari para orang tua karena sama saja akan "mengundang" roh halus agar orang menjadi kesurupan.
Namun setelah diberikan penjelasan, akhirnya mereka memahami. "Yang dipertunjukkan saat ini, adalah rekonstruksi dari kebangruan," katanya.
Selain itu, kesenian tradisional kebangruan juga bisa digunakan sebagai ajang silaturahmi, sarana untuk bersyiar untuk kebaikan.
Setelah dipermainkan kembali saat ini, setiap permainan alat musik yang ditampilkan dihela dzikir di dalam hati pera pemainnya. "Jadi saat ini, permainannya betul-betul dilakukan dalam keadaan sadar atau eling," katanya.
Alat musik yang ditampilkan dalam pertunjukan itu berupa gendang, jidur, penteng sejenis mandolin, biola, gambus, suling, rencak dan gong dan satu penari.
Gendingnya ada 12, di antaranya, Cempaka Putih, Cempaka Kuning, Setonda, Layang-Layang, Suela, Masnigar dan Asmarandana. Gending tersebut bisa dinyanyikan oleh para pemain alat musik pengiringnya.
"Hati perasaan yang main harus menyatu dengan alat musik kita, apa yang diinginkan hingga menghasilkan irama musik yang seragam," kata Akeu Surya Panji pengurus LSMS.
Saat ini, kesenian musik tengah menunggu pengakuan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) jadi kesenian tradisional khas Nusa Tenggara Barat khususnya Lombok Timur.
Baca juga: Cagar budaya Sembalun di Lombok belum terurus pascagempa
Baca juga: Parade budaya Lombok meriahkan "Car Free Day" Bandung
Tempat lahirnya
Musik tradisional Kebangruan berasal dari Banyer nama sebuah dusun yang terletak di ujung timur pulau Lombok, tepatnya di Desa Telaga Waru, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Zaman dahulu masyarakat Benyer mengenal musik yang ada di sekitar mereka dengan sebutan Musik Telaga Murni. Sebutan itu sendiri diambil dari nama sebuah telaga yang ada di Dusun Benyer. Sumber mata air Telaga Murni oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama Pamualan Benyer.
Masyarakat meyakini bahwa sumber mata air Pamualan Benyer dapat memberikan kehidupan serta kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. Karena itulah mata air Pamualan Benyer (Telaga Murni) sering dipergunakan untuk acara-acara ritual adat dan agama Islam, seperti "Besuq Beras" (cuci beras), acara Perkawinan, Khitanan, "Otonan" (potong rambut) dan di sana Musik Telaga Murni hadir sebagai pengiringnya.
Seperti diketahui, pada abad ke XIV jalur perdagangan mulai ramai menghubungkan seluruh wilayah kepulauan Nusantara. Saudagar yang berasal dari Timur Tengah banyak mendatangi Pulau Lombok sambil menyebarkan agama Islam lewat seni musik dengan cara menghibur lewat syair-syair Islami yang dipadukan dengan alat-alat musik mereka, karena dipandang lebih efisien dalam misi penyebaran ajaran-ajaran tauhid sebagai syiar agama Islam.
Peristiwa ini banyak memberikan pengaruh cukup besar terhadap kebudayaan dan agama Islam di Pulau Lombok, termasuk Musik Tradisional Telaga Murni yang syair, tembang, dan gendingnya bertemakan dakwah agama Islam maupun nilai-nilai kebudayaan.
Kini, musik Telaga Murni mulai bangkit kembali dengan adanya orang Kebangruan (kerasukan roh leluhur) yang minta diiringi Musik Telaga Murni. Melalui proses kebangru’an inilah Musik Telaga Murni lahir kembali dengan nama Kebangru’an. Dari sinilah Musik Tradisional Kebangru’an mulai akrab dengan generasi penerusnya yang mulai belajar memainkan kembali alat-alat musik yang telah lama ditinggalkan untuk dapat dikembangkan dan dilestarikan.
Bapak Rihin (lahir di Benyer tahun 1966) merupakan keturunan dari Bapak Amit (alm.) yang lahir di Benyer tahun 1907, merupakan generasi penerus Musik Telaga Murni, yang juga merupakan orangtua Bapak Deli (alm.) yang lahir di Benyer tahun 1934 dan Bapak Rihin yang merupakan anak dari Bapak Deli.
Hal ini yang mendorong Bapak Rihin– yang merupakan cucu Bapak Amit, untuk mengembangkan musik Tradisional Kebangru’an. Setelah melalui proses dan pertimbangan Bapak Rihin bersama teman-temannya, grup Musik Kebangrua’an kemudian membentuk Lembaga Pendidikan Seni dan Budaya Kebangru’an (LPSBK) pada tahun 2010.
Grup Musik Tradisional Kebangru’an sendiri telah lebih dulu berdiri pada tanggal 9 Mei 2009. Lembaga Pendidikan Seni dan Budaya Kebangru’an (LPSBK) mempunyai misi mengembangkan dan melestarikan Musik Tradisional Kebangru’an.
Tujuan dari upaya ini adalah untuk menghargai para leluhur sekaligus melanjutkan usaha syiar leluhur mereka. Pak Rihin sendiri percaya bahwa orang yang Kebangru’an hanya media penyampai pesan dari para luluhur supaya generasi penurus tidak melupakan tradisi. Oleh sebab itu Musik Kebangru’an tidak hanya dimainkan pada saat kebangru’an tetapi juga dimainkan dalam acara-acara kesenian, adat dan keagamaan.
Pada tahun 2013, Lembaga Pendidikan Seni Budaya Kebangru’an (LPSBK) resmi berganti nama menjadi Lembaga Seni Menduli Selayar (LSMS), Dengan Akta Notaris No 28, Misi dari lembaga ini tetap sama yaitu mengembangkan dan melestarikan Musik Tradisional Kebangru’an Gumi sasak di Nusa Tengara Barat.
Baca juga: Karnaval budaya NTB pukau delegasi APGN
Baca juga: Budaya "ngopi" ala Suku Sasak
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020