Ouagadougou (ANTARA News/AFP) - Perundingan untuk mengatasi konflik di wilayah Darfur Sudan akan dimulai lagi di Doha sebelum akhir bulan ini, kata penengah internasional Djibril Bassole, Minggu.
"Doha akan menjadi tempat negosiasi dan akhir dari krisis Darfur," kata Bassole kepada wartawan setelah pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Prancis Bernard Kouchner, yang mengunjungi Burkina Faso, Minggu, pada bagian akhir dari lawatannya ke negara-negara Afrika.
Bassole mengungkapkan harapannya bahwa Abdel Wahid Mohammed Nur, pemimpin kelompok pemberontak Tentara Pembebasan Sudan (SLA) di pengasingan, mengambil bagian dalam perundingan tersebut.
SLA adalah salah satu kelompok pemberontak utama di Darfur, selain JEM, dan Nur sebelumnya menolak ikut dalam perundingan di Doha.
Menurut Bassole, ketua penengah PBB dan Uni Afrika untuk konflik tersebut, pada pertemuan Doha itu pihaknya akan mendesak kelompok-kelompok yang bertikai melakukan gencatan senjata nyata dan menyetujui perjanjian perdamaian yang mengakhiri perang.
Pembicaraan akan dimulai di Doha pada 18 Januari. Anggota-anggota kelompok pemberontak dan masyarakat sipil akan melakukan pertemuan sehari sesudahnya, sebelum pembukaan resmi negosiasi pada 24 Januari.
"Pemasalahan sulit namun menuju ke arah yang benar," kata Bassole.
Ia menyatakan telah membahas masalah Nur itu dengan menteri luar negeri Perancis karena pemimpin SLA itu tinggal di pengasingan di Paris.
Koucner mengatakan, ia yakin bahwa Nur pada akhirnya akan mengambil bagian dalam proses perdamaian.
Perundingan antara pemerintah Khartoum dan pemberontak Darfur untuk mengatasi konflik itu telah ditunda beberapa kali pada tahun lalu.
Perundingan yang dituanrumahahi Qatar itu sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 28 Oktober namun Bassole mengatakan pada saat itu bahwa pertemuan tersebut ditunda sampai 16 November karena waktunya bertepatan dengan pertemuan puncak Uni Afrika. Jadwal terakhir itu pun ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.
Ketegangan meningkat di Sudan setelah Pengadilan Kejahatan Internasioonal (ICC) pada 4 Maret memerintahkan penangkapan terhadap Presiden Sudan Omar Hassan al-Beshir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat.
Pada Februari, kelompok pemberontak utama Darfur, Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM), menandatangani sebuah perjanjian perdamaian dengan pemerintah Khartoum mengenai langkah-langkah pembangunan kepercayaan yang bertujuan mencapai perjanjian perdamaian resmi.
Pada Mei, JEM sepakat memulai lagi perundingan dengan Khartoum yang dihentikannya setelah pengadilan internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi presiden Sudan itu.
Jurubicara ICC Laurence Blairon mengatakan kepada wartawan di pengadilan yang berlokasi di Den Haag, surat perintah penangkapan terhadap Beshir itu berisikan tujuh tuduhan -- lima kejahatan atas kemanusiaan dan dua kejahatan perang.
Sudan bereaksi dengan mengusir 13 organisasi bantuan dengan mengatakan, mereka telah membantu pengadilan internasional di Den Haag itu, namun tuduhan tersebut dibantah oleh kelompok-kelompok bantuan itu.
Sejumlah pejabat PBB yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, pengusiran badan-badan bantuan itu akan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Darfur.
Para ahli internasional mengatakan, pertempuran hampir enam tahun di Darfur telah menewaskan 200.000 orang dan lebih dari 2,7 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka. Khartoum mengatakan, hanya 10.000 orang tewas.
PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur, pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010