”Gus Dur selalu mengatakan bahwa alasan adanya Indonesia adalah karena keberagaman, karena kalau tidak ada keberagaman, Indonesia tidak perlu ada. Contohnya, saya sekarang sekarang di Jogja, kalau kita tahun 1945 tidak mencapai kesepakatan bernama Indonesia, saya ini berarti ada di negara yang berbeda dengan Jakarta. Karena tidak ada Indonesia,” ujar putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid tersebut di Yogyakarta, Rabu, dalam keterangan tertulis.
Anggota Suluh Kebangsaan itu juga mengungkapkan bahwa seandainya pada tahun 1945 bangsa ini tidak bersepakat menjadi satu negara bangsa maka pasti terpecah-pecah. Karena itu menurutnya yang dipakai untuk mempersatukan adalah gagasan yang diberi nama Indonesia yang disepakati pada tahun 1928.
”Jadi kalau sekarang ada yang mau menyeragamkan dengan khilafah itu sama saja dengan membatalkan dan membubarkan indonesia. Masalahnya memang kita ini yang mayoritas kalah dalam hal militansi dengan mereka sehingga disebut sebagai silent majority. Makanya terlihat mereka yang lebih banyak apalagi di media sosial,” tutur putri sulung Gus Dur itu.
Alissa menyebutkan bahwa hal tersebut bisa terjadi karena sebagian besar orang Indonesia merasa nyaman, aman dan berpuas diri tapi tidak menjaga atau tidak memperbaharui komitmen kepada kebangsaaannya yaitu Indonesia dan akhirnya malah sibuk dengan kepentingannya sendiri.
”Di sisi lain, ada kelompok yang sangat militan melakukan kaderisasi, melatih anggota-anggotanya untuk menjadi penggerak masyarakat dan sekarang penggerak-penggerak itu sudah ada dimana-mana termasuk di BUMN dan Kementerian/Lembaga (K/L) yang bisa kita lihat data-datanya dari berbagai survei yang ada,” ucap lulusan magister psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) itu.
Baca juga: Akademisi: Ideologi Pancasila harus dipertahankan cegah radikalisme
Alissa menyampaikan bahwa anggota-anggota kelompok tersebut telah menyusup ke berbagai lini hingga ke ASN dan TNI-Polri yang mana sebenarnya lembaga ini adalah sebagai penyangga filosofi besar bangsa dan negara Indonesia.
”Padahal di Indonesia sendiri sebenarnya sulit sekali untuk merealisasikan ide khilafah itu. Hal ini bisa kita lihat dari sisi teologis Khilafah Islamiyah itu tidak ditemukan bagaimana bentuknya. Khilafah yang sebenarnya didengung-dengungkan oleh HTI adalah khilafah versi nabhani, tapi itu sebenarnya juga bukan khilafah yang dijalankan oleh khulafaur rasyidin setelah nabi. Jadi sebetulnya yang mana yang mau dipakai mereka sendiri juga tidak jelas,” terangnya.
Menurutnya, perlu strategi yang lebih efektif dan efisien serta orang-orang yang militan untuk menjaga NKRI. Perlu kader-kader yang memiliki keterampilan atau kecakapan untuk menggerakkan masyarakat yang tidak hanya bisa bilang NKRI harga mati tapi juga bisa mewujudkannya dengan menggerakkan masyarakat.
”Kita masih berkutat di hal-hal yang sifatnya seremonial saja seperti seminar atau even yang tidak bisa mencetak kader-kader yang diperlukan untuk menjaga bangsa. Di tempat saya sendiri Gusdurian baru mencapai 130 kota di Indonesia, belum semuanya. Karena kita tidak ada kekuatan dana,” ucapnya.
Kehadiran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai lembaga yang terdepan dalam penanggulangan terorisme menurutnya sangat diharapkan peran sertanya untuk turut serta mencetak kader-kader penggerak masyarakat.
”BNPT perlu untuk membuat program kaderisasi yang kuat jadi kita nanti bisa mencetak orang-orang yang memang bisa menggerakkan masyarakat. Kami di gusdurian saja perlu waktu dua tahun melakukan kaderisasi kepada seseorang sampai dia mampu pada tingkat menjadi pemimpin atau bisa menggerakkan masyarakat. Nah, BNPT saya yakin juga bisa melakukan hal serupa, hanya desain programnya bisa lebih efektif dan efisien sesuai kebutuhan,” pungkasnya.
Baca juga: BPN bantah Prabowo Subianto pendukung ideologi khilafah
Baca juga: Gubernur Gorontalo ajak masyarakat perangi paham khilafah
Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020