Jakarta (ANTARA News) - Yayasan Rotan Indonesia (YRI) mensinyalir pendapatan petani rotan terus turun akibat kebijakan pengelolaan rotan nasional yang tidak tepat dan tanpa pertimbangan jangka panjang.

Kebijakan rotan nasional saat ini, menurut Ketua Yayasan Rotan Indonesia, Lisman Sumardjani di Jakarta, Minggu, juga dikhawatirkan membuat kelestarian kawasan hutan yang merupakan habitat tempat tumbuh rotan terancam.

Dia mengungkapkan, keterpurukan petani rotan bisa dengan mudah dilihat di salah satu sentra rotan nasional, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Lisman mengatakan, rotan Sultra biasanya dijual ke Makassar atau Surabaya. Namun akibat adanya Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 36/M-DAG/PER/8/2009 tentang Ketentuan Ekspor Rotan yang mengatur kuota ekspor dan pembatasan ETR (Eksportir Terdaftar Rotan), katanya, produk rotan Sultra tidak ada yang membeli.

Pembeli rotan di Makassar sulit membeli karena mereka mempunyai stok dan jenis rotan yang sama, sedangkan buyer (pembeli) yang lebih besar yaitu ETR Surabaya tidak lagi bisa membeli karena mereka dilarang melakukan ekspor.

"Tidak heran bila kemudian harga rotan turun dan perekonomian petani pemungut rotan terpukul sangat hebat," kata Lisman.

Dalam sebulan, rotan yang biasa dihasilkan oleh Provinsi Sultra mencapai lebih dari 5.300 ton atau 63.600 ton setahun dengan lebih dari 13.860 ton di antaranya dihasilkan Kabupaten Konawe.

Pasar lokal sendiri hanya mampu menyerap 9,4 persen produksi rotan atau sekitar 500 ton per bulan atau hanya 6.000 ton per tahun. "Ini berarti terdapat nilai ekonomi sebesar Rp182,4 miliar dari rotan sejumlah 57.600 ton yang tersia-sia," kata Lisman.

Dalam kondisi normal, dia menuturkan, di Desa Tisandi maupun Rawua, Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe, dulu setiap kepala keluarga bisa mendapatkan 700 kilogram rotan mentah per bulan. Dengan harga jual rata-rata Rp1.500 per kg, mereka akan mendapatkan sekitar Rp1,05 juta per bulan.

Namun sekarang, dalam sebulannya mereka hanya mendapatkan 400 kg dengan harga sekitar Rp950 per kg, maka yg didapatkan petani hanya sejumlah Rp380.000.

"Penurunan penghasilan petani ini menyebabkan gairah petani untuk mengumpulkan rotan makin berkurang. Kondisi ini membuat industri pengolahan rotan setengah jadi juga rontok," katanya.

Bila lima tahun lalu di seluruh Kabupaten Konawe terdapat 33 perusahaan penggorengan yang mampu menghidupi 1.650 Kepala Keluarga, maka saat ini yang tersisa tinggal 6 industri yang hanya cukup untuk menghidupi 300 Kepala Keluarga petani.

Ketua Asosiasi Pengusaha Rotan Kabupaten Konawe, Andi Makkaroda mengungkapkan, lesunya industri pengolahan rotan juga dirasakan oleh kabupaten lainnya.

"Di Kolaka hanya tersisa lima industri penggorengan rotan. Konawe Selatan tinggal empat industri pemolesan, Bau-bau dan Raha masing-masing tinggal lima industri pengolahan rotan. Bahkan di Bombana sudah tidak ada sama sekali industri pengolahan rotan yang masih beroperasi," kata dia.

Lisman juga mengungkapkan rasa prihatinnya dengan kondisi tersebut yang merupakan akibat dari kebijakan internal pengelolaan rotan nasional yang tidak tepat dan tanpa pertimbangan jangka panjang.

Pelarangan ekspor rotan oleh ETR dari Surabaya ternyata telah memukul telak kehidupan petani di Konawe dan Sulawesi Tenggara lainnya.

Kondisi tersebut semakin mengkhawatirkan terkait dengan rencana perubahan kawasan hutan seluas 135.415 ha seperti yg diusulkan dalam revisi RTRWP Propinsi Sultra untuk diubah menjadi lokasi transmigrasi, perkebunan sawit dan pertambangan.

Padahal rotan hanya akan lestari bila rotan dirasakan manfaatnya dan dianggap penting oleh seluruh pemangku kepentingan, katanya.

Lisman merasa sangat kecewa dengan Kabinet Presiden SBY, utamanya kepada Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Kehutanan, yang tidak pernah bersungguh-sungguh membela nasib 2,3 juta petani pemungut rotan yang semakin terpuruk.

Sementara sudah menjadi tugas negara untuk mempertahankan kelestarian potensi sumber daya alam, termasuk rotan, untuk kesejahteraan bangsa ini, tegas Lisman.

"Bila kondisi ini dibiarkan, dikhawatirkan rotan Indonesia akan habis dalam 10 tahun ke depan. Itu artinya kita sebagai bangsa telah mensia-siakan anugerah Tuhan berupa 85 persen potensi rotan dunia," kata Lisman.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010