Surabaya (ANTARA News) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas) HAM akan menyikapi potensi pelanggaran HAM dalam kasus lumpur di kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada April 2010.

"Tim Adhoc Kasus Lumpur Lapindo Komnas HAM memang sudah melaporkan 13 temuan pelanggaran hak ekosob (ekonomi, sosial, budaya) di kawasan lumpur itu," kata Wakil Ketua Komnas HAM Hesti Armiwulan di Surabaya, Minggu.

Di sela-sela seminar dan lokakarya "Penegakan Hukum Perburuhan Bagi Aktivis Buruh" di Surabaya (9-11/1), aktivis HAM asal Surabaya (Ubaya) itu mengaku laporan tim adhoc itu belum ada keputusan yang final.

"Komnas HAM belum sampai pada keputusan tentang pelanggaran HAM yang terjadi di kawasan lumpur Lapindo itu, karena laporan tim adhoc baru dikaji dalam rapat paripurna Komnas HAM pada 5-6 Januari 2010," katanya.

Menurut mantan Ketua Pusat Studi HAM (Pusham) Universitas Surabaya (Ubaya) itu, rapat paripurna Komnas HAM masih memutuskan perpanjangan kinerja tim adhoc dalam tiga bulan ke depan, sehingga kemungkinan akan selesai pada April mendatang.

"Kalau memang ditemukan adanya pelanggaran hak ekosob yang berat seperti dikemukakan ketua tim adhoc Syafruddin Ngulma Simeulue, maka kami akan menguji coba hasil temuan sementara itu untuk melihat adanya pelanggaran HAM berat," katanya.

Bila nanti lumpur panas Lapindo ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat, katanya, Komnas HAM akan meneruskan ke Kejaksaan Agung (Kejakgung) untuk ditindaklanjuti.

"Laporan ke Kejakgung itu tanpa melihat surat perintah penghentian penyedikan (SP3) oleh polisi, karena Komnas HAM menyikapi dalam ranah pelanggaran HAM, sedangkan polisi pada ranah pidana. Keduanya tidak ada kaitan sama sekali," katanya.

Pandangan agak berbeda dikemukakan pakar hukum lingkungan dari Unair, Dr. Suparto Widjojo. Ia menilai paradigma dalam menyikapi kasus itu sebaiknya tidak hanya bersifat yuridis, tapi juga bersifat memihak korban.

"Paradigmanya memang harus dirombak menjadi paradigma pemanfaatan. Lumpur yang ada memang tidak dapat dilawan, tetapi jika dibiarkan juga bukan berarti dibiarkan mengalir ke laut," kata dosen Fakultas Hukum (FH) Unair Surabaya itu.

Menurut dia, korban tidak dapat menunggu aspek yuridis yang sejak tahun 2006 hingga kini tidak ada kejelasan, karena itu pemerintah harus melihat lumpur yang terbentang dengan paradigma pemanfaatan.

"Presiden harus segera menetapkan kawasan eksplorasi Lapindo sebagai kawasan pengosongan, kemudian warga yang ada direlokasi, sehingga kawasan kosong itu dapat menjadi kawasan cagar alam, wisata, perlindungan bencana, dan kawasan ekonomi kerakyatan," katanya.

Kepada ANTARA, ahli hukum lingkungan itu menilai ekonomi kerakyatan untuk membantu korban lumpur itu berarti pemerintah perlu memakai paradigma pemanfaatan itu.

"Pemanfaatan lumpur itu dapat digunakan genteng, bahan baku semen, dan bahkan uap panas dari kawasan lumpur itu dapat dijadikan energi panas. Bisa juga dijadikan kawasan wisata dan riset," katanya.

Ia menambahkan paradigma pemanfaatan agaknya lebih dapat "menghibur" korban lumpur dibandingkan dengan bila korban lumpur itu "didiamkan" saja untuk menunggu penyelesaikan yuridis.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010