Bukan tidak mungkin ada kepentingan-kepentingan lain yang masuk ketika melakukan amendemen UUD NRI Tahun 1945.

Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Sjarifuddin Hasan menyerap pendapat dan pandangan kalangan akademisi Universitas Suryakancana melalui Focus Group Discussion (FGD) terkait dengan wacana amendemen UUD NRI Tahun 1945, khususnya menghidupkan kembali Garis-Garis Haluan Negara.

Sjarifuddin Hasan menilai pendapat dan pandangan akademisi tersebut menjadi masukan dan bahan pertimbangan serta kajian bagi MPR terkait dengan haluan negara.

"Pandangan dan pendapat kalangan akademisi ini merupakan kontribusi bagi perkembangan demokrasi, pembangunan, dan kesejahteraan," kata Syarief Hasan dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Sebelumnya, pada hari yang sama di Cianjur, Jawa Barat, Syarief membuka FGD dengan tema "Wacana Amendemen UUD NRI Tahun 1945 Khususnya Terkait Dihidupkannya Kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara".

Syarief menjelaskan bahwa MPR periode 2019—2024 mendapatkan amanah dari MPR periode sebelumnya (2014—2019) untuk melanjutkan kajian terhadap amendemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Baca juga: Wakil Ketua MPR sebut amendemen UUD diputuskan dalam lima tahun

"Untuk mengamendemen UUD perlu pendalaman yang komprehensif dengan melibatkan stakeholder dan masyarakat Indonesia," ujarnya.

Menurut dia, salah satu klaster yang digali adalah kalangan akademisi karena memiliki independensi dalam memberikan pendapat dan pandangannya.

"Akademisi memiliki independensi demi kepentingan bangsa dan negara. Itu sebabnya saya selalu berkomunikasi dengan perguruan tinggi," katanya.

Kepada peserta FGD, Syarief Hasan menjelaskan bahwa pandangan-pandangan tentang amendemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan GBHN.

Menurut politikus Partai Demokrat itu, ada pandangan yang mengatakan bahwa amendemen empat tahap sebelumnya, yaitu amendemen UUD 1945 pada tahun 1999—2002, belum sempurna sehingga perlu amendemen kelima, khususnya terkait dengan GBHN.

"Strategi pembangunan kita melalui UU Nomor 25 Tahun 2004 dan UU No. 17/2007 belum mewakili kepentingan nasional," katanya.

Syarief menyebutkan salah satunya tidak ada sinergi dan kesinambungan pembangunan sampai tingkat provinsi dan kabupaten karena pembangunan di daerah berdasarkan visi dan misi kepala daerah terpilih.

Baca juga: Wakil Ketua MPR sebut ada tiga fraksi belum setujui amendemen UUD

Apabila GBHN masuk dalam konstitusi, menurut dia, akan menjadi haluan pembangunan siapa pun pemimpin atau kepala daerahnya.

Namun, lanjut dia, muncul beragam masalah apabila amendemen UUD NRI Tahun 1945, misalnya, kemungkinan ada kepentingan lain yang masuk dalam prosesnya.

"Bukan tidak mungkin ada kepentingan-kepentingan lain yang masuk ketika melakukan amendemen dan tidak hanya amendemen khusus haluan negara," katanya.

Syarief juga menjelaskan persoalan lain yang dihadapi adalah siapa yang menyusun GBHN, ada pandangan apabila MPR yang menyusun GBHN, MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara.

Oleh karena itu, kata dia, Presiden sebagai pelaksana GBHN maka akan mempertanggungjawabkan kepada MPR. Hal itu juga menjadi persoalan.

"Saya apresiasi terhadap para peserta FGD di tengah pandemi COVID-19 ini ikut memberikan kontribusi berupa pandangan dan pendapat berkomitmen untuk sharing bersama. Pendapat, pandangan, dan saran akademisi ini akan dibawa ke MPR," ujarnya.

Baca juga: MPR RI bahas wacana amendemen UUD 1945 bersama Pemprov Kalteng

FGD tersebut terselenggara atas kerja sama MPR dan Universitas Suryakancana.

Acara tersebut dihadiri Rektor Universitas Suryakancana Prof. Dr. Dwidja Priyanto, S.H., M.H., Sp.N., Staf Ahli Wakil Ketua MPR Jafar Hafsah, Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Dr. Dedi Mulyadi, S.H., M.H, dan para akademisi Universitas Suryakancana.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020