Penurunan lifting minyak merupakan penyumbang terbesar terhadap penurunan penjualan ekspor migas
Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menyesalkan kerugian sekitar Rp11 triliun yang diderita Pertamina pada semester I-2020 karena seharusnya BUMN energi ini bisa menangguk kenaikan pendapatan yang pesat dari penjualan produk bahan bakar minyak (BBM).
Fahmy Radhi menilai kerugian sebesar Rp11 triliun itu merupakan rekor rugi tertinggi Pertamina dalam sepuluh tahun terakhir.
Namun kata Fahmy, mestinya pendapatan Pertamina dari penjualan BBM meningkat pesat. Pasalnya, Pertamina tidak menurunkan harga BBM pada saat harga minyak dunia terpuruk selama 2020.
“Penurunan lifting minyak merupakan penyumbang terbesar terhadap penurunan penjualan ekspor migas, yang menyebabkan Pertamina merugi,” ungkap Fahmy melalui pesan tertulis kepada Antara di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, dalam kondisi merugi itu keputusan Pertamina untuk akuisisi ladang minyak di luar negeri merupakan keputusan blunder, yang akan memperbesar kerugian Pertamina pada semester II/2020.
Alasannya, investasi tersebut tidak bisa dibiayai dari sumber internal laba ditahan, tapi dibiayai dari sumber eksternal utang, yang akan semakin memperbesar biaya bunga sehingga memberatkan kerugian.
Selain tidak ada laba ditahan, setoran dividen dan pajak juga akan mengalami penurunan drastis. Demikian juga dengan mitra dan kontraktor yang selama ini bekerja sama dengan Pertamina pasti akan terkena imbasnya.
Baca juga: Legislator nilai wajar Pertamina merugi pada semester I 2020
Baca juga: Pertamina-Chandra Asri kerja sama pengembangan petrokimia nasional
Baca juga: Pertamina pastikan pasokan BBM ke perbatasan sesuai arahan pemerintah
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020