Jakarta (ANTARA News) - Topan Hanna menghajar North Carolina pada September 2008 dan membuat semua di Wilmington mengkhawatirkanya. Namun, bagi harian Star-News yang berbasis di kota itu, topan Hanna malah menjadi tonggak pengubah bisnisnya.
Editor eksekutif Robyn Tomlin baru saja menempati pos barunya, dan tatkala badai melanda Wilmington, dia sedang bersantai di duplex (rumah) barunya, hanya dua blok dari samudera.
Ketika semua orang bersembunyi di bawah ranjang, Tomlin punya gagasan lain. "Saya tweet semua kejadian itu dari telepon genggam," katanya. Langkah ini diikuti seluruh staf Star-News.
"Kami menjadi tersambung ke semua orang di seluruh daerah yang menyaksikan kejadian sama. Saya kira itulah kali pertama saya sadar, 'Oh Tuhan, lihatlah apa yang bisa dilakukan ini (Twitter) di situasi seperti ini."
Setelah itu, koran kepunyaan New York Times Co bersikulasi 48.000 eksemplar itu, membangun satu Twitter feed utama yang mensuplai headline ke pengikutnya (follower).
Sejumlah kecil staf koran itu mempunyai akun Twitter, namun untuk mengantisipasi Topan Hanna, redaksi memutuskan mencoba sesuatu yang baru, yaitu feed unik bagi reporter dan masyarakat guna memposkan kesaksiannya selama badai berlaku.
"Topan tersebut bukanlah Badai Katrina seperti dalam bayangan banyak orang, namun orang seluruh dunia mendadak mengikuti tweet-tweet ini."
Setahun kemudian, Star-News menurunkan kisah dan mendikusikan topik-topik di 15 Twitter feed, sedangkan 30 orang dari semua staf redaksinya memiliki akunnya sendiri-sendiri yang digunakan untuk mengenalkan karya mereka dan terhubung dengan masyarakat untuk menggali tema-tema tulisannya.
Koran itu juga menyebarkan artikel-artikelnya di Facebook resminya dan menganjurkan semua reporter menirunya, dan kebanyakan melakukannya.
"Model perbincangan itu, umpan balik itu, adalah kunci dari banyak hal yang kita laporkan," kata manajer pengembangan laman, Vaughn Hagerty.
Di New York, Wall Street Journal menyebarkan dan menarik informasi melalui lebih dari 100 Twitter feed, bagai sistem pembuluh darah untuk berita dan dialog.
New York Times juga mempunyai sejumlah Twitter feed, tapi koran ini memaksa TimesPeople untuk menghasilkan serangkaian jejaring sosial yang memungkinkan masyarakat merekomendasikan, berbagi pendapat dan mengomentari isi berita Times dengan teman-temannya yang terdaftar di TimesPeople.
Sementara itu, raksasa internet yang lagi menjulang, Huffington Post, menawarkan versi tweet-nya sendiri.
Facebook, Twitter, dan jejaring sosial secara dramatis mengubah sisi bisnis pemberitaan yang tak pernah terpikirkan, yaitu distribusi berita.
Semua orang dipaksa untuk berjejaring dan menyelami aspek promosi dan pemasaran di baliknya. Dan tiba-tiba semua itu menjadi tugas semua orang.
Redaksi dipaksa mendefinisikan kembali tugas reporter dan editor, membahas masa depan pembaca, tema liputan dan kode etik jurnalisme online.
"Kita menyaksikan bahwa pengguna, warga, menjadi bagian integral dari evolusi pemberitaan," kata Amy Mitchell, Deputi Direktur Project for Excellence Journalisme, Pew Research Center.
"Mungkin era (organisasi berita) lalu perlu pembuktikan bahwa konsep itu bisa melakukan semuanya, tapi kini tak ada seorang pun yang menunggu konsep itu terbukti," sambung Lee Rainie, Direktur Pew Internet & American Life Project.
"Pada masa lalu, jurnalis memandang adalah tugasnya menulis berita, sebaliknya menyalurkan, memasarkan, dan menemukan pembaca berita adalah tugas orang lain. Di dunia baru, jurnalis bertanggungjawab di semua bidang," kata Alan Murray, Direktur Eksekutif Wall Street Journal online.
Biasanya, meminta jurnalis mengerjakan tugas lebih, acap membuat organisasi berita mesti mengeluarkan uang lebih pula. Itu tak bisa dibantah, namun dengan memiliki staf redaksi yang mengelola akun-akun jejaring sosial, beban itu terkurangi.
Dengan menempatkan informasi berita di tempat tertinggi ke Digg --jejaring sosial untuk berita terpopuler di Web-- berita-berita mencapai hits tertingginya.
Follower Twitter keranjingan dan merupakan pembaca loyal yang terus berkomunikasi dengan reporter peliput bidang yang menarik perhatian mereka.
Laman Facebook menjadi wahana organisasi berita dan reporter mengirim cerita ke jejaring dan menjawab langsung komentar dan pertanyaan pembaca. Sementara pembaca mendadak tersedot mengikuti dan organisasi berita mampu mengurangi ketergantungannya pada mesin pencari (search engine).
Laporan dari Pew Research Center menunjukkan, orang memang masih enggan menggunakan Twitter dan jejaring sosial untuk mendapatkan berita. Hanya 10 persen dari semua pengguna jejaring sosial.
Pada September, Wall Street Journal menyelenggarakan serangkaian temu wicara dengan para kepala biro dan reporter agar mereka menyesuaikan diri dengan tata dunia baru.
Tidak semua orang abai dengan itu, bahkan sejumlah reporter menganggap aneh ide melayani follower online.
Wall Street Journal kemudian merekrut tenaga baru pemanfaat Twitter untuk memperoleh subjek-subjek berita tertentu seperti otomotif dan teknologi.
The Journal tidak membatasi pada tweet konten gratis, tapi juga untuk informasi-informasi khusus berlangganan, dengan catatan semua itu masih di dinding wajib bayar.
"Indahnya Twitter membuat Anda bisa mengikuti orang-orang penting yang meminati topik-topik yang juga Anda minati," kata Murray.
"RSS feeds itu cerita masa lalu, makanya kami mendorong reporter untuk menggunakan Twitter guna menyantap informasi-informasi menarik dan membantu mempersibuk lalu lintas pengunjung laman."
Murray terpaksa menggunakan feednya untuk mengabarkan tulisan-tulisan the Journal kepada 5.000 followernya yang tidak mengakses laman the Journal, misalnya menanyakan pembaca di mana seharusnya Olimpiade 2016 diselenggarakan.
Awalnya, 20 persen memilih Chicago. "Saya pikir itu menarik," kata Murray. "Oleh karena itu saya tweet (kicaukan, sebarkan) informasi itu." Dan Murray pun mendapatkan isu dan bahan berita.
Di atas konsep "memberi dan menerima" pesan Twitter, the Journal juga mengintegrasikan jejaring-jejaring sosial agar lebih dekat dengan lamannya.
Pada Agustus, surat kabar itu menggunakan Digg Dialogg saat mewawancarai Menteri Keuangan AS Timothy F. Geithner. Pertanyaan yang dikirimkan the Journal berasal dari komunitas Digg.
"Itu adalah cara lain untuk lebih dekat dengan jejaring sosial, karena kami kira mereka akan menjadi wahana yang kian penting bagi masyarakat dalam mendapatkan konten-konten the Journal."
Chad Lorenz, editor majalah Slate edisi online, menyambut guncangan jejaring sosial. Menurut versi mesin pencari, lalu lintas di laman Slate itu rendah.
"Meski begitu, kami tahu orang-orang menafsirkan berbeda-beda. Kami tahu ada banyak cara di luar sana agar orang-orang mengunjungi satu situs ke situs lainnya," kata Lorenz.
Agar kontennya bisa diakses cepat oleh pembacanya, Slate menghimpun daftar panjang nama pembacanya di Twitter.
Kepala koresponden politik John Dickerson sendiri bahkan memiliki 1,2 juta follower. Memang masih di bawah Twitter aktor Ashton Kutcher, tetapi itu di atas Twitter-nya politisi Newt Gingrich dan penyanyi Justin Timberlake.
Di Facebook, Slate, yang dipunyai Washington Post Co, lebih inovatif dibandingkan kebanyakan situs berita lain. Slate membuat lima akun Facebook sepanjang tahun lalu untuk mempromosikan proyek-proyek individualnya.
Sebutlah "Fresca Fellowships" dari redaktur David Plotz yang memungkinkan reporter menghabiskan waktu sebulan untuk mengembangkan komunitas onlinenya mengerjakan tugasnya.
Salah satu fellowship diraih Dahlia Lithwick, yang tengah menuntaskan novelnya, "Saving Face," rata-rata satu halaman sehari, atas bantuan lebih dari 1.700 teman Facebook yang sumbang saran dengannya, dalam hal plot dan karakter novelnya di dinding Facebook.
Salah satu pertanyaan diajukan Lithwick di dinding Facebook: "Apakah yang paling mungkin dikatakan Cole kepada Erica ketika bertengkar?" Dia memperoleh lebih dari 50 komentar, salah satunya, "Kamu seperti ibumu saja," atau "Kamu nggak pernah lembut!"
Seperti kebanyakan publikasi lain, Slate tidak mengetahui pasti berapa banyak traffic dihasilkan dari upaya-upaya ini. Dan kebanyakan interaksi dengan pembaca terjadi lewat Facebook dan Twitter.
Dari sebuah sudut di kantornya di Dupont Circle di Washington D.C, Plotz berkata, "Saya berusaha keras meyakinkan kolega saya untuk memahami bahwa kami tidak tergantung pada ide bahwa promosi laman Slate akan sangat menentukan lamannya."
Apa yang dimaksud traffic dalam jejaring sosial, tergantung pada situs web. Sejumlah pihak melihat ada lompatan di tingkat artikel, kendati sulit diketahui berapa banyak yang berasal dari optimasi mesin pencari dan berapa banyak yang berasal dari jejaring sosial.
Tidak semua pintu masuk berasal dari laman. Lalu lintas akses laman Wall Street Journal misalnya, meledak 250 persen dalam dua tahun terakhir, demikian Murray.
Untuk yang lain, lalu lintas pengakses laman sama sekali tidak penting.
"Daripada berharap pembaca mengunjungi situs webnya, Center for Public Integrity, lembaga jurnalisme investigatif nirlaba di Washington, D.C., bekerja keras mengejar ke mana arah pembaca," kata Direktur Eksekutif Bill Buzenberg.
Misi itu ditata berdasarkan subyek-subyeknya, seperti lingkungan, juga mediumnya seperti blogger dan agregator seperti Huffington Post, televisi, radio dan surat kabar.
Tujuannya, memperoleh orang yang bersedia mengambil karya gratis lembaga itu.
Center for Public Integrity juga ada di Twitter dan Facebook, namun hanya untuk menciptakan peta dan grafis interaktif yang disampaikan melalui newsletter, e-mail, gambar dan tautan yang lebih banyak dibandingkan kebanyakan laman web.
"Saya tidak menyatakan laman ini untuk semua orang. Hampir semua pembaca mengakses kami melalui proyek-proyek kami," kata Buzenberg.
Revolusi distribusi berita tampak berdampak langsung pada cara pikir editor dan bagaimana mereka menggunakan situs web.
Pada Juni, Roanoke Times yang dimiliki Landmark menciptakan jabatan baru: editor harian pendistribusi informasi. "Tugasnya mengelola kekinian situs web, selain menyebarkan headline ke Twitter di sepanjang hari," kata Carole Tarrant, editor koran ini.
Salah satu dari strateginya adalah memanfaatkan Twitter feed sebagai buku harian, yaitu pengingat peristiwa-peristiwa yang bakal muncul.
Satu Senin di bulan Oktober, laman dan Twitter feed mengingatkan pembaca bahwa hari itu adalah hari terakhir pendaftaran pemilu di Virginia, padahal tak ada pemberitahuan mengenai hal ini di edisi cetak koran tersebut.
Selama bertahun-tahun mesin pencari menjadi perujuk utama berita artikel dan telah membuat frustrasi organisasi berita di mana-mana, namun jejaring sosial membuat dominasi itu melepuh.
"Anda tidak hanya mengemban misi organisasi, namun juga nilai yang Anda tempatkan berdasarkan penilaian kawan Anda," kata Rainie.
Kendati kecil, jejaring sosial menguntungkan sejumlah surat. Roanoke Times misalnya, mempunyai rujukan Facebook sampai 1,72 persen dari total rujukannya selama Januari.
Pada September angka itu melompat menjadi 4,38 persen. Rujukan Twitter, meski lebih sedikit dibandingkan Facebook, berlipat dua sejak Juni, ketika jabatan editor harian diperkenalkan.
Pada 16 Mei ada guncangan yang seketika membangunkan warga Roanake. Hanya dalam beberapa detik, kesaksikan warga lewat Twitter berhamburan ke meja redaksi.
"Baru bangun nih, gara-gara guncangan besar di Roanoke. Guncangan apa itu ya," tulis seorang pengguna Twitter beridentitaskan Santoroski.
Seseorang yang menyebut dirinya Pacarrell merespons, "Ya, Virginia, saya juga merasakan bumi bergetar. Tapi tak ada yang tahu pasti apa itu."
Di meja redaksi Roanoke Times, seorang produser online pagi melihat tweet dan mengecek laporan US Geological Survey (BMG-nya AS) yang membenarkan adanya gempa bumi.
Dia mengirimkan informasi ke laman beritanya dan laman Facebook serta segera menyebarkan tweet berisi berita-berita. "Itu beranjak dari tidak mengetahui apa yang dikabarkan koran dengan mengatakan oh itu benar sekali," kata Tarrant.
"Manakala berita besar muncul atau peristiwa bernilai berita tinggi terbentang, orang tanpa kecuali, pergi ke tempat favoritnya, dan tempat itu cenderung menjadi gerai media massa yang sangat dikenal," kata Rainie.
Murray dari Wall Street Journal menegaskan, "Lalu lintas laman, pada banyak hal, adalah wali dari kuasa brand (merek). Lalu lintas laman yang lemah menjadi indikasi brand yang lemah."
Sementara Star-News menanggapi serangan itu dengan menggunakan Twitter secara masif untuk menyaingi radio dan televisi, untuk memperoleh peristiwa-peristiwa paling aktual yang di-stream dari Twitter feed untuk langsung diberitakan laman berita.
"Semakin banyak orang mengharapkan model perbincangan via jejaring sosial tidak menjadi sekedar promosi murni," kata Tomlin.
Model perbincangan seperti itulah yang melahirkan MyReporter.com, yang memungkinkan pembaca mengirim pertanyaan kepada reporter melalui situs Star-News atau Twitter. Jawaban-jawaban kembali dalam kurun 24 jam.
Itu bermula di musim gugur lalu, manakala editor Night Metro Jim Ware menyebarkan pertanyaan melalui Twitter-nya, "Mengapa ada helikopter terbang di atas rumah Anda?" Ware segera mendapatkan jawaban dari warga bahwa polisi tengah memburu tersangka perampokan.
Setahun kemudian, MyReporter.com memenangkan anugerah "Knight-Batten Citizen Media Award" karena telah melakukan validasi luar biasa kepada pembaca.
Reporter dan editor kini lebih sering muncul di tweet-up, yaitu arena kongkow dengan komunitas Twitter.
Pertanyaannya, apa semua makna ini membumi? Akankan jejaring sosial merangsang untung? Karena semuanya online, maka tak ada jawaban mudah untuk menghitung ini semua.
Namun orang terus mencoba. The Star-News bekerja untuk membuat pengiklan melekatkan diri dengan feed Twitter lewat iklan online.
Tomlin mencontohkan satu laman kuliner dengan iklan yang mempunyai delapan sampai 10 Twitter feed dari restoran lokal yang menawarkan menu dan kupon spesial. Pesan-pesan Twitter amat membantu Tomlin membuat dan menganalisis berita.
Lebih jauh, melalui konsep itu, jurnalis memainkan juga peran kewirausahaan. "Ini ide newsroom sejati yang dibangun dan disebarkan ke departemen iklan untuk dikembangkan," kata Tomlin.
Oleh karena itu, jejaring sosial mungkin merupakan jawaban untuk sisi bisnis dari jurnalisme online yang selama ini begitu didamba organisasi media. (*)
- Bret Schulte adalah penulis paruh waktu dan asisten profesor jurnalisme pada Universitas Arkansas
- Artikel ini dimuat American Journalism Review, edisi Desember/Januari, diedit dan dialihbahasakan oleh Jafar Sidik.
Oleh Bret Schulte
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010