"Dengan mulai diberlakukannya ACFTA pada Januari 2010 menjadi titik awal malapetaka bagi industri-industri yang selama ini mengandalkan pasar dalam negeri untuk memasarkan produk mereka," kata Ketua Bidang UKM dan Kerajinan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jadin C Djamaludin di Yogyakarta, Kamis.
Menurut dia, industri khususnya usaha kecil dan menengah (UKM) dalam negeri yang mengandalkan pasar lokal akan kalah bersaing dengan produk dari China yang membanjiri pasar di Indonesia.
"Pemerintah harus menunda pemberlakuan ACFTA, paling tidak tiga tahun, dan disusul dengan penguatan industri di dalam negeri," katanya.
Ia mengatakan industri di dalam negeri saat ini memang telah memiliki daya saing, namun kondisinya masih sangat lemah, karena infrastruktur dan dukungan pemerintah masih sangat minim.
"Dukungan pemerintah terhadap industri masih sangat kecil, seperti aliran listrik sering terganggu karena adanya pemadaman bergilir, harga listrik untuk sektor usaha lebih mahal dibandingkan tarif untuk rumah tangga, sementara di negara lain beban biaya listrik untuk sektor usaha lebih murah," katanya.
Ia mengatakan selama ini pemikiran pemerintah terlalu makro, sedangkan sektor riil tidak digarap serius, padahal sektor usaha di negeri ini didominasi UKM.
"Jika pemerintah tetap memberlakukan ACFTA, maka paling tidak di lingkungan sektor usaha tekstil akan terjadi PHK (pemutusan hubungan kerja) sebanyak 1,2 juta orang. Kalau skala nasional, jumlah yang di-PHK diperkirakan akan mencapai 7,5 juta orang," katanya.
Jadin mengatakan industri tekstil merupakan salah satu sektor usaha yang terancam, karena selama ini tekstil nasional hanya menguasai 22 persen pasar tekstil, dan 78 persen lainnya tekstil impor.
"Dari 78 persen yang impor itu, 71 persennya masuk ke Indonesia secara ilegal," katanya.(*)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010