"Tampaknya, semua korban memiliki gejala rabies seperti tidak tahan terhadap sinar, takut pada air, tubuh kejang, banyak mengeluarkan air liur dan kejang urat," kata Direktur Kesehatan Regional di Provinsi Amazon, Peru utara, Elias Bohorquez sebagaimana dikutip oleh surat kabar Peru 21.
Bohorquez mengatakan konfirmasi diagnosis medis telah tertunda karena masyarakat pribumi menolak otopsi.
"Konfirmasi harus dilakukan melalui otopsi otak korban, tapi masyarakat pribumi menganggapnya sebagai penghinaan," kata pejabat itu.
Tragedi tersebut terjadi di masyarakat pribumi Kigkis, tempat beberapa kelompok penting seperti Awajun dan Wampis, yang biasanya membangun gubuk mereka dengan menggunakan ranting dan cabang pohon.
Gubuk bobrok seringkali membuat penghuninya terpajan terhadap serangan kelelawar pada malam hari, terutama pada musim panas.
Dinas kesehatan regional menyatakan mereka telah membujuk kepala suku pribumi "Apus" agar melancarkan upaya guna menanggulangi penyebaran wabah rabies dan bertambahnya jumlah hewan penghisap darah.(*)
Pewarta: Luki Satrio
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010