Jombang (ANTARA News) - Bagi warga Jombang, Jawa Timur, memberi predikat pahlawan nasional kepada almarhum KH Abdurrahman Wahid yang diakrabi jutaan orang dengan sapaan Gus Dur, tidak lebih penting dari meneladani keluhuran pribadi ulama akbar itu.
Mereka, dan juga keluarga besar Gus Dur, agaknya nyinyir dengan perkembangan yang seolah-olah gelar pahlawan nasional adalah segala-galanya. Padahal mereka tahu pasti bahwa Gus Dur, mengutip budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, hanya mementingkan rakyat, bukan status dirinya.
Bagi mereka, jika pun negara menggelari Gus Dur pahlawan nasional, maka itu adalah resultante dari apresiasi luas masyarakat, bukan negara yang mendahului masyarakat.
Mereka merasa tidak perlu menghiba-hiba agar Gus Dur menjadi pahlawan nasional karena itu merendahkan dirinya, sekaligus mendegradasi predikat pahlawan nasional itu sendiri.
Seorang warga Mojowarno, Jombang, Kholil Rosidi, bahkan berkata, "Gelar pahlawan di Indonesia terlalu murah, karena itu Gus Dur tak perlu dijual murah. Pengakuan masyarakat lebih penting."
Dan ketika kedatangan Dinas Sosial (Dinsos) Jawa Timur, Senin (4/1), sebagai tim pencari fakta ke Jombang untuk mempelajari usulan gelar pahlawan nasional bagi almarhum Presiden RI keempat itu tampaknya tidak membawa hasil apapun, warga Jombang tidak masygul.
"Mereka (Dinsos) tidak membawa dokumen penting dari keluarga di Pesantren Tebuireng. Mereka memang minta beberapa data pribadi tentang Gus Dur, tapi data-data itu ada pada keluarga di Ciganjur, Jakarta, bukan di Tebuireng," kata sepupu Gus Dur, Gus Irfan Yusuf.
Kepada ANTARA di sela-sela persiapan peringatan tujuh hari wafatnya Gus Dur di kompleks pesantren Tebuireng, Selasa malam (5/1), putra almarhum KH Yusuf Hasyim tersebut menyatakan tim Dinsos Jatim itu hanya mendapatkan surat yang dijanjikan Pemkab Jombang.
"Pemkab Jombang menyatakan siap memberikan surat-surat yang diperlukan tim Dinsos Jatim untuk memproses usulan pengajuan gelar pahlawan nasional itu. Pemkab Jombang akan membuatkan surat yang dibutuhkan untuk usulan itu," katanya.
Namun, katanya, keluarga sendiri tidak mementingkan pengakuan resmi negara karena keluarga lebih mementingkan pengakuan masyarakat.
"Bagi keluarga, pengakuan masyarakat terhadap kepahlawanan Gus Dur itu lebih penting. Pengakuan pemerintah itu tidak akan ada artinya apa-apa bila tidak ada pengakuan dari masyarakat," katanya.
Ia menilai bila ada pengakuan dari pemerintah, maka pengakuan itu merupakan implementasi dari apa yang berkembang di masyarakat saja. "Selama ini, Gus Dur juga lebih melihat apa yang berkembang di masyarakat," katanya.
Pandangan Gus Irfan itu senada dengan pernyataan Cak Nun saat menyampaikan cerita tentang Gus Dur di sela-sela pembacaan selawat kesukaan Gus Dur pascatahlil di kompleks pesantren itu.
"Gus Dur merupakan sosok yang tidak tertarik dengan apa-apa, karena Gus Dur justru lebih memikirkan kesejahteraan masyarakat, bukan dirinya, karena itu Gus Dur dan keluarganya tidak memerlukan gelar pahlawan atau tidak," katanya.
Menurut budayawan yang dekat dengan Gus Dur itu, gelar pahlawan untuk Gus Dur itu terserah kepada Presiden, karena Gus Dur tidak memerlukan itu, apalagi keluarganya.
"Saya yakin, keluarga Gus Dur tidak akan mau mengemis gelar pahlawan itu, karena pengakuan masyarakat lebih tinggi. Negara itu didirikan oleh rakyat, karena itu pengakuan rakyat lebih tinggi dibandingkan dengan pengakuan negara," kilahnya.
Tiga teladan
Agaknya, gelar pahlawan memang tidak menarik. Salah seorang putri Gus Dur yakni Zannubah Arifah Chafsoh (Yenny Wahid) ketika memberi sambutan pada peringatan tujuh hari wafat ayahandanya, malah mengingatkan tiga pesan Gus Dur.
"Banyak hal yang dapat dijadikan suri tauladan dari Gus Dur, sehingga Gus Dur menjadi dekat di hati banyak orang dan akhirnya banyak orang yang merasa kehilangan," katanya.
Didampingi kakaknya Annisa mewakili keluarga Gus Dur, Yenny mengaku, keluarganya yang kehilangan Gus Dur merasa terobati oleh banyaknya orang yang merasa kehilangan almarhum.
"Karena itu, kita harus meneladani beliau. Ada tiga pesan Gus Dur yang perlu kita teladani yakni keihlasan, ilmu dan ahlak, serta berani menegakkan keadilan," katanya.
Menurutnya, keihlasan yang ditunjukkan Gus Dur adalah bertindak tanpa pernah pamrih, bahkan Gus Dur tidak pernah memikirkan diri sendiri, melainkan semuanya untuk masyarakat.
"Selelah apa pun atau sesibuk apa pun, Gus Dur selalu datang untuk memenuhi undangan orang, apakah orang itu punya jabatan atau tidak, apakah orang itu tinggal di kota atau di gunung-gunung," katanya.
Teladan lainnya, ilmu dan ahlak. "Di tengah operasi menjelang meninggal dunia, Gus Dur masih minta buku dalam rekaman. Artinya, hingga menjelang meninggal dunia pun Gus Dur masih mementingkan ilmu. Itu harus diteladani anak zaman sekarang," katanya.
Tentang akhlak, Gus Dur mengajarkan pentingnya dekat dengan ulama, karena bila dekat dengan ulama, maka ahlak akan terjaga.
"Dalam konteks akhlak, Gus Dur pernah menceritakan Pandawa dan Kurawa dalam dunia pewayangan selalu digambarkan orang baik dan orang jelek, padahal Kurawa juga perlu dirangkul, karena Kurawa adalah orang jelek yang ingin memperbaiki ahlak untuk menjadi Pandawa," katanya.
Tentang keberanian menegakkan kebenaran, katanya, Gus Dur selalu tampil di depan untuk membela orang yang teraniaya.
"Itu artinya, Gus Dur mengingatkan para pemimpin agar setiap kebijakan yang dibuat tetap mengacu kepada kesejahteraan rakyat," katanya.
Walhasil, keluarga Gus Dur dan orang Jombang sendiri agaknya lebih mementingkan meneladani Gus Dur dibandingkan dengan memikirkan gelar pahlawan untuk Gus Dur. (*)
Oleh Edy M. Ya`kub
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010