Jakarta (ANTARA News) - Draft Peraturan Presiden (Perpres) yang dibuat dalam rangka revisi Keppres 80 tahun tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa belum memberi kesetaraan antara penyedia dan pengguna jasa konstruksi.

"Ada pasal-pasal yang mengatur soal sangah banding akan tetapi dalam Perpres revisi penyedia jasa harus membayar dengan harga dua per mill harga pekerjaan sampai dengan maksimal Rp50 juta," kata Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pelaksana Konstruksi Nasional (ASPEKNAS), Garwono Winardi di Jakarta, Selasa.

Menurut Garwono, kalau sampai klausul itu diterbitkan akan memberatkan kalangan penyedia jasa untuk memberikan sanggah atau banding apabila ditemukan sesuatu yang tidak pas dalam proses tender.

Garwono juga menyampaikan, dalam Perpres justru pasal yang mengharuskan perusahaan memiliki sertifikat badan usaha dihapus padahal untuk mengikuti tender syarat itu yang dibutuhkan. Begitu juga dengan sertifikat keahlian dan keterampilan untuk perorangan yang juga tidak disebut dalam Perpres.

Dia menyampaikan, kalau aturan seperti ini yang dipakai maka badan usaha dan tenaga ahli yang ikut dalam pekerjaan konstruksi tidak dapat dipertanggungjawabkan, termasuk kalau terjadi kegagalan bangunan.

"Seharusnya sertifikat diterbitkan setelah melalui proses pengujian yang selama ini dilaksanakan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) untuk menjamin penyedia jasa yang ikut serta dalam tender merupakan badan usaha dan orang yang kompeten," katanya.

Dia juga mengatakan, prinsip kesetaraan juga harus disertakan dalam penyelengaraan jasa konstruksi untuk menciptakan iklim persaingan yang sehat di sektor jasa konstruksi.

Sebagai gambaran dalam Keppres No. 80 tahun 2003 mengatur pekerjaan yang diikuti badan usaha kecil, menengah, dan besar, serta masing-masing tidak dapat merebut yang sudah menjadi porsinya, jelasnya.

Pemerintah sudah mengatur melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Usaha Mikro Kecil Menengah, seharus Perpres menginduk kepada aturan di atasnya untuk melindungi usaha kecil dan menengah melalui aturan main yang jelas, ungkapnya.

Sehingga kalau Lembaga Kebijakan Penyediaan Barang dan Jasa Pemerintah. (LKPP) justru menyerahkan aturan tender kepada panitia tender ini merupakan langkah mundur pemberantasan KKN, jelasnya.

Kalau pola seperti ini yang diterapkan akan menciptakan peluang terjadinya KKN yang sebenarnya sudah dikurangi dalam Keppres No. 80 tahun 2003, kata Garwono.

Dia menyampaikan, dengan iklim tender konstruksi yang diciptakan pemerintah saat ini masih sering ditemui kasus-kasus KKN yang besarannya 30 persen namun dengan Perpres besaran itu bukannya dikurangi melainkan bertambah.

Garwono mengatakan, dalam menghadapi persaingan bebas melalui Asian Free Trade Area (AFTA) pemerintah seharusnya mempersiapkan iklim yang sehat dari dalam bukan justru memperlemah melalui peraturan yang tidak jelas.

Dia minta kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara Perencana Pembangunan Nasional dan Kepala Bappenas untuk meninjau draft Perpres sebelum diberlakukan Januari 2010 untuk menciptakan iklim penyediaan barang dan jasa yang sehat.

Seharusnya Perpres itu tidak bertentangan dengab peraturan di atasnya seperti Peraturan

Pemerintah No 29 tahun 2009 tentang penyelenggaraan jasa konstruksi dan UU No 18 tahun 1999 tahun tentang Jasa Konstruksi, paparnya.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010