Yogyakarta (ANTARA News) - Ratusan warga nahdliyin Yogyakarta memenuhi gedung Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Selasa malam, untuk melakukan tahlil dan doa bersama pada tujuh hari sejak meninggalnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
"Selain di gedung PWNU DIY, acara serupa juga dilakukan serentak di seluruh Pengurus Cabang NU kabupaten dan kota se-provinsi ini," kata Sekretaris Tanfidziyah PWNU DIY Zuhdi Muhdlor di sela tahlil bersama di Yogyakarta itu.
Menurut dia, selain memanjatkan doa untuk Gus Dur, dalam acara tersebut diceritakan mengenai sosok Presiden ke-4 Indonesia ini, agar seluruh warga nahdliyin dapat meneladani sikap-sikap almarhum.
"Keteladanan Gus Dur perlu ditiru supaya cita-citanya yang belum tercapai dapat diwujudkan oleh generasi berikutnya," katanya.
Ia mengatakan beberapa sikap Gus Dur yang pantas diteladani adalah konsistensinya terhadap hal yang diyakini kebenarannya, dan selalu membela kebenaran, serta bisa memilah-milah antara urusan pribadi dengan urusan umum.
Namun demikian, menurut dia, Gus Dur tetaplah manusia biasa, sehingga masyarakat tidak boleh mengkultuskan sosoknya karena dapat mengarah pada syirik, seperti mengambil tanah di tempat Gus Dur dimakamkan.
Sementara itu, mengenai SMS (layanan pesan singkat) melalui telepon selular yang diterima Gus Solah, Yenni Wahid dan suaminya, Dhohir Farisi yang menyebutkan penyebab kematian Gus Dur karena dibunuh, Zuhdi mengkhawatirkan informasi tersebut memiliki efek berantai yang buruk.
"Pesan-pesan seperti itu justru merugikan, karena akan menimbulkan rasa saling curiga, apalagi Gus Dur bukan hanya milik NU, tetapi milik masyarakat," katanya.
Ia berharap pesan-pesan seperti itu tidak perlu dihembuskan karena akan menimbulkan kecurigaan. "Tanah makamnya saja belum kering, dan tidak etis rasanya," katanya.
Menurut dia, PWNU DIY meyakini Gus Dur meninggal bukan karena dibunuh, namun karena sakit, dan sebelum meninggal tampaknya almarhum memiliki firasat seperti akan kembali ke Pondok Pesantren Tebuireng pada 31 Desember 2009.
"Pernyataan itu diungkapkan pada sepekan sebelum Gus Dur meninggal dunia pada 30 Desember lalu," katanya.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010