"Kami belum tahu pasal-pasal mana saja yang diusulkan untuk direvisi, yang jelas kita akan kooperatif kok," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo, Gatot S. Dewa Broto, di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan, jika telah ada usulan secara resmi pihaknya akan mempelajari dan pada intinya turut mendukung secara kooperatif.
Namun, Gatot meminta agar masyarakat tidak menuntut pihaknya mengambil inisiatif untuk melakukan revisi terhadap UU ITE.
"Jangan tuntut kami untuk lakukan revisi, pihak lain lakukan inisiatif itu dan kami akan kooperatif," katanya.
Pihaknya menyatakan menghormati posisi Mahkamah Konstitusi di mana Depkominfo memiliki peran sejalan dengan lembaga tersebut terkait UU ITE.
Menurut dia, siapa saja bisa merevisi UU ITE sejauh memiliki keterkaitan dengan UU itu.
"Wajar juga kalau Depkumham mengusulkan revisi karena itu sudah menjadi salah satu domainnya. Jadi sampaikan saja nanti tinggal pembahasan bersama di DPR," katanya.
Sejumlah pasal dalam UU ITE khususnya yang paling kontroversial adalah pasal 27 ayat 3, menurut Gatot, tidak seperti yang selama ini ramai diisukan.
"Tidak semudah itu, seseorang dijerat dengan pasal pencemaran nama baik," katanya.
Ia menambahkan, dalam kasus Prita Mulyasari vs RS Omni Internasional, misalnya, Prita tidak bisa dijerat dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Itu karena dalam pasal tersebut menyebutkan "Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak... " sementara dalam UU konsumen pasal 4 huruf d dijelaskan salah satunya hak konsumen adalah menyampaikan keluhan.
UU ITE sendiri terbit pada 25 Maret 2008 dengan cakupan meliputi globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan keinginan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Meski mengandung banyak sisi positif, UU ITE dianggap banyak pihak memiliki sejumlah pasal karet dan kejanggalan.
Positifnya UU ITE memberikan peluang bagi bisnis baru di Indonesia karena penyelenggaraan sistem elektronik diwajibkan berbadan hukum dan berdomisili di Indonesia.
UU itu juga dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang merugikan, memberikan perlindungan hukum terhadap transaksi dan sistem elektronik, dan memberikan perlindungan hukum terhadap kegiatan ekonomi misalnya e-tourism, e-learning, implementasi EDI, dan transaksi dagang.
UU itu juga memungkinkan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di luar Indonesia dapat diadili. Selain itu, UU ITE juga membuka peluang kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet.
Sayangnya UU ITE dianggap banyak pihak membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan menghambat kreativitas dalam berinternet.
Sejumlah pasal yang kerap disebut memuat aturan warisan pasal karet (haatzai artikelen) di antaranya pasal 27 ayat 1 dan 3, pasal 28 ayat 2, dan pasal 31 ayat 3.
(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010