Medan (ANTARA News) - Bangsa Indonesia kini menghadapi krisis bahasa berupa pemakaian bahasa asing yang tidak proporsional dan pencampurbauran bahasa Indonesia dengan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris.

"Krisis bahasa itu juga disebabkan oleh hilangnya kecintaan terhadap bahasa daerah dan masuknya bahasa asing ke Indonesia dalam layanan umum berupa merek dagang melalui jalur investasi," kata Kepala Balai Bahasa Medan, Prof Amrin Saragih, di Medan, Minggu.

Ia mengatakan, ada anggapan pada masyarakat bahwa satu-satunya jalan untuk selamat dari arus globalisasi adalah dengan penguasaan bahasa asing khususnya Bahasa Inggris.

"Bahasa Inggris juga dianggap memiliki daya jual dan daya pengangkat marwah dan wibawa. Itulah sebabnya merek dagang, spanduk, nama perusahaan dan nama hotel atau layanan umum lainnya hampir semuanya dalam bahasa Inggris," katanya.

"Ada juga merek dagang bercampur aduk antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Ini merupakan salah satu bukti bahwa kita mengalami krisis bahasa yang juga berarti mengalami krisis identitas atau jati diri," katanya.

Menurut dia, upaya yang efektif untuk mengatasi krisis bahasa tersebut adalah dengan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap bahasa Indonesia melalui pendidikan yang berkualitas.

"Di samping itu, semua pihak baik politisi, wartawan, kaum intelektual, tokoh masyarakat perlu diberi pemahaman tentang kebijakan kebahasaan yang dibuat oleh pemerintah," katanya.

Amrin mengemukakan, kebijakan kebahasaan Indonesia adalah menjunjung tinggi bahasa persatuan atau nasional yakni bahasa Indonesaia dan menjadikannya sebagai bahasa pergaulan yang lebih luas secara kuantitaif dan kualitatif.

"Kebijakan tersebut tidak memusuhi bahasa asing, tetapi menempatkan peran bahasa asing pada posisi yang proporsional sebagai bahasa pengantar untuk komunikasi antar bangsa.Bahasa daerah juga menempati proporsi yang sesuai sebagai bahasa pergaulan di dalam suku yang sama dan pemerkaya bahasa Indonesia," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010