Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Cintai Indonesia Cintai KPK (Cicak) memberikan waktu dua pekan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menetapkan Anggodo Widjoyo menjadi tersangka dalam kasus rekaman rekayasa penetapan tersangka pimpinan KPK.

"Kami memberikan deadline kepada KPK dalam dua pekan untuk menetapkan Anggodo Widjoyo menjadi tersangka," kata aktivitas Cicak yang juga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, di Jakarta, Minggu.

Sebelumnya, Mabes Polri telah melakukan penyelidikan terhadap kasus rekaman rekayasa penetapan tersangka pimpinan KPK, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah yang diperdengarkan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).Rekaman tersebut adalah hasil penyadapan KPK terhadap Anggoro.

Mabes Polri menyerahkan kasus itu kepada KPK karena kesulitan untuk menemukan bukti-bukti kuat yang dapat menjerat adik buronan KPK terkait dugaan korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Dephut dan PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjoyo.

Febri menyatakan sebenarnya KPK tidak perlu ragu-ragu lagi menetapkan Anggodo sebagai tersangka, karena sudah ada bukti awal rekayasa penetapan tersangka pimpinan KPK tersebut.

"Yakni rekaman yang diperdengarkan di MK serta keterangan Ari Muladi, itu bisa menjadi dua alat bukti," katanya.

Terlebih lagi, kata dia, akibat perilaku Anggodo Widjoyo itulah, membuat kondisi KPK sampai "terpuruk". "Jadi harus menunggu apa lagi dalam menetapkan Anggodo sebagai tersangka," katanya.

Selain itu, kata dia, dari rekomendasi Tim Delapan menyebutkan bahwa Anggodo tersebut adalah makelar kasus. Tim Delapan yang dibentuk oleh presiden terdiri dari delapan tokoh dan bernama resmi Tim Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Dua Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.

"Dengan adanya rekomendasi itu, tentunya KPK harus pro-aktif dalam menangani kasus Anggodo dibandingkan kepolisian dan kejaksaan agung (Kejagung)," katanya.

"Saat ini, penyelidikan sudah selesai, tapi kenapa lamban penanganannya. Ini harus dievaluasi dan perlu diperhatikan," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010