Sebagai "orang dalam" Perum LKBN ANTARA, kami semua terkaget-kaget di buku kontroversial itu terselip bab khusus "Pemanfaatan PSO LKBN ANTARA untuk Bravo Media Center" sepanjang tiga halaman. Yang membuat Keluarga besar Antara tidak terima adalah tuduhan George bahwa "separuh dari dana PSO LKBN ANTARA yang berjumlah Rp40,6 miliar mengalir ke Bravo Media Center".
Tentu saja saya sebagai "orang dalam ANTARA" meradang. Pada kesempatan pertama, kami harus segera menyatakan melalui media bahwa tuduhan itu sama sekali tidak benar. Mekanisme, proses dan prosedurnya, tidak mungkin dana PSO itu dialihkan.
LKBN ANTARA segera menuntut agar George Aditjondro merevisi bukunya. Selain memberikan somasi, Direksi juga sibuk melayani media yang ingin mengetahui duduk perkaranya. Dirut ANTARA Ahmad Mukhlis tampil di sejumlah stasiun televisi dan di TV One dan RRI berhadapan langsung dengan George Aditjondro.
Sebelum dialog di TV One, Mukhlis mendatangi George untuk mengajaknya berkenalan.
Mukhlis berusaha menatap mata George untuk memastikan mereka berdua bisa bicara jujur dalam talk show nanti. George waktu itu banyak menunduk dan menengadah, sambil merapikan terus buku dan dokumen yang dibawanya, sampai akhirnya George diundang duluan oleh pembawa acara".
Saat dialog berlangsung, Mukhlis mempertanyakan berbagai dasar penulisan George sebagai mantan wartawan dan ilmuwan yang pasti menjunjung tinggi kebenaran.
Dalam talk show itu, di hadapan jutaan pasang mata pemirsa, George tidak dapat membuktikan dasar penulisannya yang terkait dengan penyaluran sebagian dana PSO ANTARA, dan berjanji merevisinya.
Meskipun mengaku data dan informasi diperoleh dari "orang dalam ANTARA", sepertinya George tidak tahu apa dan bagaimana PSO Perum LKBN ANTARA. Akibatnya, kesimpulan dia soal pemanfaatan dana PSO itu ke Bravo Media Center menjadi blunder yang sangat keliru.
Berikut adalah penjelasan mengenai PSO LKBN ANTARA, siapa tahu berguna bagi George sebagai bahan revisi bukunya.
Pengertian dan landasan hukum
Landasan konstitusional pemerintah untuk memberikan subsidi dalam bentuk kewajiban pelayanan publik (PSO) antara lain pada pasal 34 UUD 1945, yang berbunyi: "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak". Pasal tersebut dijabarkan dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah di bawahnya, yang memberikan petunjuk teknis dan khusus mengenai peranan pemerintah dalam penyediaan pelayanan umum tersebut.
Pasal 66 UU tentang BUMN menyatakan bahwa dengan persetujuan para pemegang saham/Menteri Negara BUMN, pemerintah dapat mewajibkan sebuah BUMN untuk melaksanakan tugas khusus bagi kepentingan masyarakat.
Penjelasan dari UU itu menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban menyediakan kompensasi bagi semua biaya yang ditimbulkan ditambah dengan margin jika penugasan itu tidak layak secara finansial.
Di sektor transportasi, misalnya, PSO diberikan kepada PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), PT Kereta Api (KA), dan PT Perum Damri. Dana PSO dialokasikan untuk menjaga agar tarif angkutan terjangkau masyarakat.
Sekretaris Perusahaan Pelni Abubakar Goyim menjelaskan, Pelni menggunakan dana PSO untuk mengoperasikan kapal pada trayek-trayek pelayaran yang ditugaskan pemerintah. Misalnya, untuk membuka rute pelayaran ke Miangas atau Papua, yang sulit ditembus oleh pesawat udara sekalipun. Dana PSO itu untuk membayar selisih tarif yang dikenakan kepada penumpang.
Dari tahun ke tahun, besaran dana PSO Pelni disesuaikan dengan laju inflasi dan harga BBM. Tahun 2009, Pelni mendapat alokasi dana PSO Rp635 miliar atau turun dari 2008 sebesar Rp850 miliar karena penurunan harga BBM.
"Dana sebesar itu digunakan untuk mengoperasikan 23 kapal yang harus melayani trayek yang ditugaskan pemerintah," jelas Abubakar dalam sebuah wawancara dengan media.
Dia mengakui, besaran PSO seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan. Kondisi itu seringkali membuat Pelni merugi. "Namun kami harus tetap menjalankannya dan tidak boleh bilang bahwa PSO itu membebani perusahaan," tegas Abubakar.
Hal senada diungkapkan Kepala Komunikasi Publik PTKA Adi Suryatmini. PTKA menerima dana PSO agar tarif KA kelas ekonomi terjangkau sesuai daya beli masyarakat. "Dengan PSO, kami tidak merugi sedikitpun karena memang sudah menjadi tugas perseroan sebagai perusahaan negara," ungkap dia.
Dia mengakui, realisasi dana PSO seringkali tidak sesuai harapan. Untuk tahun ini misalnya, KA hanya mendapatkan alokasi dana PSO Rp535 miliar, padahal perseroan mengusulkan dana PSO untuk operasional KA kelas ekonomi, termasuk memperbarui KA kelas tersebut, sebesar Rp650 miliar.
Untuk menyebarluaskan informasi
Nah, ketika ANTARA menjadi Perusahaan Umum (Perum) pada tahun 2007, maka pemerintah melalui PP No.40 Tahun 2007 memberikan penugasan khusus melalui PSO untuk "peliputan dan/atau penyebarluasan informasi kegiatan kenegaraan dan kemasyarakatan baik di tingkat nasional, daerah, maupun internasional".
Perum LKBN ANTARA juga ditugaskan untuk "menyediakan jasa berita, foto jurnalistik, grafik, data seketika, audio visual, teknologi informasi, dan multimedia lainnya yang berkaitan dengan kegiatan kenegaraan dan kemasyarakatan".
Sesuai Keputusan Menteri BUMN No. 101/MBU/2002 Pasal 12, maka "Seluruh biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan penugasan oleh pemerintah, sepenuhnya menjadi beban pemerintah sebagai pemberi penugasan". Dibanding PT Pelni atau PT KA, dana PSO untuk Perum ANTARA tidak seberapa, yaitu Rp40,6 miliar (2008) dan Rp50 miliar (2009).
Penggunaan dana PSO itu dilakukan dengan aturan teknis yang ketat. Tidak semua berita yang diproduksi LKBN ANTARA bisa dibayarkan PSO-nya. Hanya yang memenuhi syarat dan kriteria yang ditugaskan saja yang bisa diklaim pembayarannya.
Setiap bulan tim antar departemen, seperti Depkominfo, Depkeu dan Kementerian Negara BUMN, melakukan verifikasi atas berita tersebut. Berita/foto/gambar yang tidak lolos verifikasi digugurkan dan tidak bisa dibayar.
Untuk tahun 2009 misalnya, syarat berita yang bisa dibayarkan PSO-nya harus menyangkut lima tema, yaitu (1) Demokratisasi dan Pemilu; (2) Perkembangan dan Kebijakan ekonomi Indonedia di tengah krisis ekonomi global; (3) Millenium Development Goals (MDGs); (4) Karakter bangsa dan (5) Citra bangsa.
Intinya, Perum LKBN ANTARA ditugaskan untuk meliput dan menyiarkan berita-berita yang terkait dengan kepentingan public sesuai tema-tema tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No.40 Tahun 2007 tentang Perusahaan Umum (Perum) LKBN ANTARA disebutkan tugas pokok dan fungsi ANTARA.
Salah satunya adalah untuk memberikan dukungan dan memperlancar tugas Negara/pemerintah dalam penyebaran informasi publik dan informasi kebijakan pemerintah, kenegaraan dan kemasyarakatan, baik nasional maupun internasional, melalui bidang jurnalistik (pasal 7).
Terciptanya masyarakat yang melek informasi (informed society) adalah cita-cita ideal bangsa Indonesia. Adalah menjadi tugas semua stakeholder negara untuk membebaskan rakyat Indonesia dari kesengsaraan, lewat peningkatan kesejahteraan dan demokratisasi yang dicapai berkat pemanfaatan teknologi dan akses informasi.
Pada era reformasi dan industri sekarang ini, arus informasi seperti air bah yang menggulung siapa saja. Semua orang seperti tertabrak informasi baik melalui media cetak, radio atau televisi. Sayangnya, limpahan informasi tak kunjung mencerdaskan khalayak.
Reformasi telah membuka pasar industri media yang ramai dan hingar bingar. Namun, maraknya media massa tidak dibarengi dengan isi yang mendidik. Publik banyak disuguhi informasi yang sensasional, cenderung vulgar, provokatif, yang bersumber dari jurnalisme negatif ala "bad news is good news". Akibatnya, publik yang terseret banjir informasi mengalami titik kejenuhan informasi (information saturated).
Publik, dalam situasi seperti ini, hanya diposisikan sebagai khalayak pasif. Publik tak lebih dari konsumen yang habis-habisan dieksploitasi oleh pasar media maupun bisnis informasi. Hak masyarakat untuk mengetahui (people right to know) tidak terlayani dengan sebaik-baiknya oleh pelaksanaan industri pers komersial yang didikte oleh rating dan mekanisme pasar.
Disayangkan banyak pihak
Kondisi ini disayangkan banyak pihak. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada Hari Pers Nasional 9 Februari 2008 di Semarang mengajak pers untuk mengembangkan jurnalisme positif. Media diimbau untuk lebih obyektif untuk memberitakan persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan sehingga bisa menumbuhkan harapan dan optimisme di kalangan rakyat.
Sedangkan pada Rapat Kabinet Terbatas yang membahas permasalahan Perum ANTARA di Istana Negara 28 Februari 2008, Kepala Negara juga secara khusus meminta Perum ANTARA betul-betul memberikan kontribusi optimal kepada bangsa dan negara dengan memberitakan suatu berita-berita yang sportif dan menarik dengan sudut pandangan kepentingan nasional.
Untuk itu, Perum LKBN ANTARA sebagai kantor berita nasional harus memiliki visi dan misi yang berbeda dengan pers komersial. Visi ANTARA adalah menjadi kantor berita berkelas dunia, terdepan di Asia Pasifik, dalam mewujudkan masyarakat berbasis pengetahuan. Sedang misinya adalah menyebarluaskan informasi tentang Indonesia ke dalam dan ke luar negeri dengan menyediakan informasi secara cepat, akurat dan penting.
Perum ANTARA juga mendapat penugasan khusus dari pemerintah melalui PSO untuk menyediakan jasa berita teks, foto, dan TV (audio visual) yang berkaitan dengan kegiatan kenegaraan dan kemasyarakatan yang bertitik tolak pada tema-tema yang menyangkut kepentingan publik.
Sebagai sebuah kantor berita yang didirikan oleh pendiri bangsa dan menjunjung tinggi etika jurnalistik, Perum ANTARA menyadari sepenuhnya bahwa tugas utama media adalah mengabdi kepada kebenaran dan loyalitasnya adalah kepada kepentingan publik, bukan kepada politisi atau siapapun.
Dengan demikian, jika ada yang menuding bahwa ANTARA bekerja untuk kepentingan politisi tertentu atau mengalihkan dana PSO kepada tim sukses calon presiden tertentu, itu berarti sangat naif dan tidak masuk akal.
Jika George Aditjondro tidak mau dibilang naif dan seorang "non-sense", seharusnya pada kesempatan pertama dia meminta maaf dan merevisi. (*)
Oleh Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010