Jakarta (ANTARA News) - Sepekan lewat, tepat sebelum berlangsungnya pergantian tahun, publik Indonesia mengalami tiga peristiwa yang cukup menggegerkan dan menjadi headline di berbagai media massa.
Tiga berita utama itu adalah wafatnya mantan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, meninggalnya tokoh pembangunan ekonomi nasional Frans Seda, dan peredaran buku kontroversial karya George Junus Aditjondro berjudul "Membongkar Gurita Cikeas".
Khusus mengenai buku Membongkar Gurita Cikeas, perlu ada penjelasan yang terang mengingat nama Perum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA ikut terseret dalam karya tulis yang berisikan sejumlah yayasan terkait dengan Cikeas (kediaman keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono).
Penting untuk dikemukakan, ANTARA melaksanakan salah satu fungsi negara yang paling penting, yaitu penyediaan layanan publik sebagai kontraprestasi atas pajak yang dipungut. Dalam konstitusi, hal ini diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 3, negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Sesuai dengan perkembangan manajemen pemerintahan yang makin kompleks, dalam implementasinya sering terjadi kesulitan jika suatu instansi pemerintah harus berperan secara total mulai dari pengembangan kebijakan, implementasi regulasi, hingga penyediaan jasa tertentu yang terkait dengan kebijakan tersebut.
Karena itu badan pemerintah tersebut menunjuk pihak lain sebagai penyedia jasa atau pelaksana untuk menyampaikan layanan umum itu kepada masyarakat.
Dalam sektor transportasi misalnya, pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan angkutan umum yang baik dan terjangkau. Untuk itu pemerintah dalam hal ini Departemen Perhubungan menunjuk PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan PT PELNI untuk melaksanakan Program Public Service Obligation (PSO) di bidang transportasi.
Aspek penawaran maupun permintaan sekarang ini menjadi faktor penentu mengapa seluruh pelaksana PSO di Indonesia adalah BUMN, meski sesungguhnya usaha swasta pun tidak dilarang untuk menjadi pelaksana.
Secara kontraktual, PSO dilakukan dengan perjanjian tahunan dimana departemen teknis sebagai pembeli menugaskan BUMN sebagai penyedia untuk memasok barang/jasa tertentu dengan harga tertentu.
Harga PSO ini merupakan selisih antara biaya riil produk PSO ditambah sedikit margin dikurangi pendapatannya. Dalam mengontrol pelaksanaan perjanjian, departemen teknis selaku pengelola anggaran akan menunjuk sebuah tim yang akan memverifikasi bukti-bukti mengenai distribusi barang/jasa yang dipesan.
Dari segi perencanaan, program PSO bahkan lebih kompleks. Ini melibatkan persetujuan DPR dari segi pagu anggaran, mengumpulkan paling tidak empat departemen pemerintah untuk membuat program kerja dan menghitung harga PSO serta membutuhkan persetujuan paling sedikit tiga menteri untuk eksekusinya, yaitu menteri teknis, Menteri BUMN dan Menteri Keuangan.
Sebagaimana dijelaskan di depan, tujuan dari pogram PSO adalah agar masyarakat sebagai pengguna akhir dapat memperoleh layanan publik dengan harga terjangkau. Di samping itu PSO pun mendatangkan manfaat kepada BUMN penyedia layanan, paling tidak dari dua aspek yaitu margin keuntungan serta utilisasi kapasitas usaha.
Dengan melaksanakan PSO, sebuah BUMN akan beroperasi pada skala dimana biaya tetapnya akan tertutupi sebagian sehingga penyediaan jasa non PSO akan bisa dilaksanakan secara lebih kompetitif.
Inilah yang sering disalahpahami bahwa PSO merupakan subsidi kepada BUMN. Pernyataan itu hanya mengandung separuh dari kebenarannya karena sesungguhnya yang disubsidi di sini adalah masyarakat sebagai pengguna akhir. Sedangkan bagi BUMN, manfaat PSO adalah margin lima persen hingga sepuluh persen serta diversifikasi pendapatan usaha.
Dalam hal program PSO bidang pers yang dilaksanakan oleh Perum LKBN ANTARA (Antara), Pemerintah dalam hal ini Depkominfo menugaskan Antara untuk membuat dan mendistribusikan berita (teks, foto dan video) ke media massa dan sasaran lain yang disebutkan dalam kontrak kerja PSO tahunan.
Berita yang dimaksud harus memenuhi berbagai kriteria, dimana salah satunya adalah tema berita. Kemudian Depkominfo akan menugaskan sebuah tim beranggotakan personil lintas departemen yang akan memverifikasi berita-berita yang dihasilkan.
Prosesnya berlangsung sangat melelahkan dimana setiap bulan seluruh anggota tim berkumpul untuk mengecek 20 ribu sampai 30 ribu berita apakah memenuhi kriteria yang dipersyaratkan dalam perjanjian. Berita acara verifikasi inilah yang menjadi dasar bagi pembayaran dana PSO dari pemerintah kepada Antara.
Penerimaan dana PSO, meski pendapatan dan administrasinya dikelola mandiri, namun secara pemanfaatannya tidak terpisahkan dalam kerangka kerja keuangan korporasi. Dana yang masuk akan dikelola berdasarkan sistem keuangan yang ada dengan mekanisme kontrol berjenjang.
Pendapatan PSO Antara yang pada tahun 2009 memiliki pangsa 30 persen akan digabungkan dengan 70 persen pendapatan lain yang bersumber dari usaha komersial untuk dikelola menurut kaidah tata kelola yang terstandar.
Sebagai contoh, penyerahan kekayaan Antara kepada lembaga lain sejumlah Rp100 juta atau lebih harus disetujui oleh Dewan Pengawas. Penjenjangan itu bahkan akan melibatkan Menteri Negara BUMN jika jumlahnya lebih besar lagi.
Dengan pengaturan keuangan yang melibatkan Dewan Direksi, Satuan Pengawasan Internal, Dewan Pengawas, Komite Audit serta dua audit eksternal yakni Kantor Akuntan Publik dan Badan Pemeriksa Keuangan, mustahil penyerahan dana untuk pihak tertentu tanpa alasan yang jelas bisa dilaksanakan.
Tulisan George Aditjondro
Dengan mencermati proses di atas, kiranya kita bisa menilai bahwa substansi tulisan yang dimuat di buku "Membongkar Gurita Cikeas" karya George Junus Aditjondro (GJA) yang menyatakan telah terjadi pengalihan sebagian dari Rp 40,6 Miliar dana PSO Antara ke Bravo Media Center sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Di samping itu, ada sejumlah argumentasi lain yang juga menguatkan kemuskilan tuduhan GJA.
Pertama, pengalihan dana sejumlah lebih dari dua kali nilai ekuitas dalam kondisi yang baru saja sembuh dari krisis keuangan bagi Antara saat ini sangat tidak masuk akal. Itu akan membuat perusahaan berhenti beroperasi dalam waktu seketika.
Kedua, dalam kegiatan kampanye politik sebuah perusahaan yang bergerak di bidang media seharusnya justru menjadi pihak yang menjadi penerima bukan pemberi dana. Logika yang umum adalah Bravo Media Center yang memberikan dana kepada Antara untuk mengeksekusi agenda politiknya.
Ketiga, dari segi teknis. Jumlah pagu anggaran PSO Antara tahun 2008 dan 2009 adalah berturut-turut Rp40,6 miliar dan Rp50 miliar. Jika yang dimaksudkan adalah sumbangan kampanye pemilu, maka seharusnya nilai yang dirujuk adalah Rp50 miliar saat kegiatan pemilu dilangsungkan. Itu pun masih menyimpan persoalan karena seharusnya nilai yang dirujuk adalah jumlah realisasi PSO yang berkisar 90 persen lebih dari nilai pagu.
Jadi sangatlah mustahil melakukan pengalihan pagu anggaran, kalau pun bisa terjadi yang mesti jadi rujukan adalah nilai realisasi anggaran. Hal itu dikarenakan pagu anggaran PSO adalah sesuatu yang masih di atas kertas.(*)
*Direktur Keuangan LKBN ANTARA dan Wakil Ketua Program PSO ANTARA
Oleh Oleh Rahmat Mulyana*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010