Dia menilai tindakan perundungan itu terjadi karena pelakunya tidak menyadari betapa besar jasa dan peran para ulama bagi kemerdekaan serta keutuhan NKRI.
"Akibatnya, tanpa merasa bersalah sedikitpun, mereka terus meneror ulama," kata HNW dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis.
Hal itu dikatakan HNW secara daring, saat menjadi narasumber Sosialisasi Empat Pilar MPR dan Narasi Kebangsaan KAMMI. Acara tersebut berlangsung di Aula Rumah Jabatan Anggota DPR RI, Komplek Kalibata, Jakarta Selatan Rabu (19/8) malam.
HNW mengatakan, ancaman dan teror kepada siapapun bertentangan dengan nilai demokrasi dan prinsip negara hukum, yang sudah disepakati berlaku di Indonesia.
Menurut dia, nilai-nilai demokrasi dan prinsip negara hukum itu seharusnya ditegakkan dan dipatuhi, bukannya malah dilanggar, dan lebih memprihatinkan karena pihak yang dintimidasi dan diancam adalah para ulama.
"Ada yang sedang dilupakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu relasi antara umat Islam dan negaranya. Seolah-olah ulama dan umat Islam Indonesia, tidak memiliki jasa apapun terhadap kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945," ujarnya.
Baca juga: Ma`ruf: Ulama penting untuk menjaga NKRI
Politisi PKS itu menjelaskan, di berbagai catatan sejarah bangsa Indonesia, peran Ulama dan umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan dan keutuhan NKRI sangat jelas yaitu bersama-sama dengan para pejuang nasionalis, ulama dan umat Islam bahu membahu menegakkan pergerakan kemerdekaan.
Menurut dia, salah satu bukti pengorbanan ulama adalah kerelaan menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta dan menerima Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila pertama Pancasila.
"Kalau dahulu para ulama seperti Ki Bagus Hadikusumo, K.H Wachid Hasjim, Teuku M. Hasan, dan juga Kasman Singodimedjo tidak mau menghilangkan tujuh kata dalam piagam Jakarta, lalu balik mengancam akan keluar dari NKRI jika Piagam Jakarta tidak disahkan, niscaya proklamasi kemerdekaan 17 Agustus akan sia-sia saja," katanya.
Namun hal itu menurut HNW tidak dilakukan para ulama, karena semua ikhlas menerima sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, demi menyelamatkan kemerdekaan dan menjaga kedaulatan NKRI.
Selain itu dia menjelaskan, ketika NKRI hilang akibat perjanjian meja bundar dan digantikan dengan Republik Indonesia Serikat, umat Islam yang mengembalikan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Muhamad Natsir, Ketua Fraksi Partai Masyumi, pada 3 April 1950 menyampaikan pidato di depan DPR RIS. Dalam pidato yang dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, beliau mengusulkan agar Indonesia kembali menjadi NKRI, sesuai cita-cita UUD 1945," ujarnya.
Baca juga: MUI : Ada skenario terkait teror ulama
Baca juga: Ketua MPR ajak generasi muda wujudkan Indonesia Emas 2045
Baca juga: MPR: Ponpes tempat pelatihan jadi warga negara yang baik
Baca juga: Wakil Ketua MPR kritisi rencana sertifikasi penceramah
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020