Palu (ANTARA) -
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu, Sulawesi Tengah, menyatakan tahun baru Hijriah atau 1 Muharram perlu dikenalkan kepada masyarakat dan generasi muda, dimulai dari rumah tangga masing-masing bagi yang beragama Islam.
"Agar tahun baru hijriah dapat dikenal di masyarakat, harus dimulai dari rumah tangga Muslim, minimal diajarkan kepada anak nama bulan dalam kalender Hijriah. Atau mereka harus tau tanggal dan bulan tahun kelahiran mereka berdasarkan kalender Hijriah," ucap Ketua MUI Kota Palu, Prof KH Zainal Abidin, di Palu, Kamis.
Menurut Prof Zainal, sebagian kaum Muslimin lebih tertarik menyambut dengan meriah pergantian tahun baru Masehi ketimbang tahun baru Hijriah. Mereka mengritik sikap itu sebagai warisan kolonial.
Demikianlah setiap pergantian tahun, tokoh dan umatnya ramai berwacana tentang sikap penyambutan itu saja.
Baca juga: Perayaan tahun baru Islam Kemenag Sulsel ajak perkokoh persatuan
Baca juga: Akademisi: Tahun Baru Hijriah momentum perbanyak zikir
"Tampaknya, pergantian tahun, baik Hijriah maupun Masehi, tak banyak memerhatikan segi-segi substansialnya. Atau, tentang nilai-nilai yang terkandung di dalam peristiwa pergantian tahun yang pernah terjadi di dalam sejarah," kata Prof Zainal yang merupakan Rektor Pertama IAIN Palu.
Misalnya, peristiwa yang melatari ditetapkannya perhitungan tahun Hijriah. Sudah diketahui bahwa sebelum Nabi Muhammad SAW berhijrah (bermigrasi) ke Madinah (Yastrib), Nabi telah mengizinkan pengikutnya berhijrah ke Ethiopia (Habasyah).
Arti penting peristiwa hijrah pertama itu adalah umat Muslimin bermigrasi dari negeri kaum kafir Mekah ke negeri umat Kristiani Ethiopia. Migrasi dari penguasa kafir ke penguasa Kristiani.
Hijrah pertama itu mengajarkan teladan dari Nabi SAW tentang hubungan lintas keyakinan yang berbeda juga lintas kebangsaan.
Teladan dari Nabi, umat Muslim boleh memilih berkawan dengan umat yang berbeda agama dan bangsa, dan bahkan meminta dan mendapat perlindungan darinya. Bersikap universalisme, internasionalisme, globalisme, dan juga pluralisme dan multikulturalisme, sudah menjadi teladan pertama yang diajarkan oleh Nabi SAW.
"Sikap lintas isme itu lebih nyata lagi ketika Nabi Muhammad SAW berhijrah dan memimpin Kota Yastrib yang olehnya diubah namanya menjadi Madinah," ujarnya.
Piagam Madinah yang terkenal itu sarat dengan teladan lintas isme (keyakinan, kultur dan suku bangsa).
Teladan lintas isme inilah yang membimbing generasi-generasi awal umat Muslimin yang aslinya adalah bersuku-bangsa Arab melakukan penaklukan negeri-negeri bukan Arab dan selanjutnya membangun peradaban yang tinggi dan unggul di lintas negeri taklukan mereka.
Prof Zainal yang juga Ketua FKUB Sulteng itu mengemukakan sejalan dengan proses terbangunnya peradaban itu, kalender atau penanggalan Hijriah pun berlaku di semua lintas negeri yang juga lintas keyakinan (agama) yang merupakan wilayah kekhalifahan Islam waktu itu.
"Bahasa Arab juga ikut menjadi bahasa Internasional. Sungguh jenius Khalifah Umar bin Khattab, Amirul Mukminin, yang menetapkan peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW sebagai titik awal penanggalan atau tarikh umat Muslimin," ujar dia.
Hijrah terjadi pada 22 Rabiulawal tahun 1 Hijriah, atau bulan Juni tahun 622 Masehi. Tanggal 1 Muharram sebagai tahun baru Hijriah, karena bulan Muharram sama dengan bulan Januari pada tarikh Masehi yaitu, bulan pertama.
Setiap tiba Muharram berarti terjadi pergantian tahun Hijriah. Sedang bulan Rabiulawal serupa dengan bulan Maret, bulan ketiga Masehi.
Kini ditemukanlah jawabannya, kenapa pergantian tahun Hijriah tidak semeriah pergantian tahun Masehi. Sebabnya adalah teladan lintas isme yang telah hilang dari umat Muslimin berkontribusi penting, selanjutnya perlu digali lagi kemampuan umat Muslimin untuk membangun peradaban yang unggul.*
Baca juga: JK: Syekh Yusuf adalah ulama sekaligus panglima perang
Baca juga: Dosen IAIN: Tahun baru Islam momentum kebangkitan umat
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020