Kami membuat kue kering dan kerajinan tangan dari kerang-kerang, ini menjadi buah tangan bagi pengujung pulau

Makassar (ANTARA) - Hidup sebagai nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil melaut, kerap menyulitkan warga pesisir dan pulau untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan pangan, pendidikan hingga penerangan atau listrik.

Cerita tentang kehidupan nelayan tentu tidak jauh berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya di Indonesia. Satu potret kehidupan nelayan itu ada di Pulau Saugi, Desa Mattiro Baji, Kecamatan Liukang Tupa'biring, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

Pulau yang dihuni sekitar 400 jiwa dengan 130 Kepala Keluarga (KK) ini, 70 persen diantaranya menggantungkan hidup dari hasil melaut.

Tak heran untuk mendukung aktivitasnya melaut seperti memperbaiki jaring atau pukat, tentu membutuhkan penerangan yang baik pada malam hari. Belum lagi untuk mendukung anak-anak mereka belajar pada malam hari, juga membutuhkan penerangan.

Meski Pulau Saugi merupakan pulau terdekat di antara 117 pulau di wilayah Kabupaten Pangkep dengan jarak tempuh menggunakan kapal kayu bermesin (jolloro') hanya sekitar 15 menit, namun kondisinya sama saja dengan pulau-pulau lainnya yang serba terbatas.

Hal itu diakui salah seorang warga Pulau Saugi, Abdullah.

Menurut dia, sebelum ada penerangan warga hanya menggunakan lampu minyak seadanya untuk penerangan. Namun ketika listrik tenaga diesel masuk ke pulau itu, kebutuhan listrik mereka mulai dapat terpenuhi.

Hanya saja, masih terasa berat bagi warga yang harus menyisihkan iuran Rp120 ribu per bulan untuk menutupi biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) listrik tenaga diesel itu yang beroperasi dari pukul 6 petang hingga 10 malam (4 jam).

"Kalau musim ombak, otomatis nelayan kesulitan mencari ikan, nah kami sulit juga bayar iurannya. Mencari ikan tidak selamanya bisa dapat ikan banyak," katanya.

Mencermati fenomena itu, Kepala Desa Mattiro Baji H Muslimin bersama sekretaris Desanya Muh Anis mencoba mencarikan solusi dengan aktif berkomunikasi dengan pihak pemerintah daerah setempat.

Harapannya, warga Saugi harus dapat menikmati penerangan dengan waktu operasi lebih lama lagi dan murah.

Ternyata pucuk dicinta ulampun tiba, itu pepatah yang tepat ditujukan pada warga Pulau Saugi. Pada 2017 pemerintah pusat melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang saat itu Menteri Ignasius Jonan memprogramkan bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Baru Terbarukan (PLT EBT) untuk menjangkau warga yang wilayahnya belum teraliri listrik.

Bantuan yang bersumber dari dana APBN tersebut diprioritaskan bagi warga yang berada di kepulauan dan pelosok desa. Khusus di Kabupaten Pangkep yang memiliki 117 pulau, dua diantaranya terpilih mendapatkan bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yakni Pulau Saugi dengan kapasitas daya 50 KwP dan Pulau Sabangko 20 KwP.

Tepat 10 Mei 2018 Menteri ESDM hadir di Sulsel untuk meresmikan 21 PLT EBT yang salah satu diantaranya berada di Pulau Saugi. Listrik tenaga dieselpun diganti menjadi listrik tenaga surya.

Dengan listrik tenaga surya ini, kata Muslimin, warga hanya dibebani iuran Rp20 ribu per bulan untuk biaya operasional dan pemeliharaan yang dilakukan oleh dua orang operator yakni Muh Ilham dan Yusman.

Selain lebih murah, jam operasional PLTS ini juga lebih lama yakni mulai pukul 6 petang hingga 7 pagi, sehingga warga lebih leluasa beraktivitas pada malam hari.

"Ibu-ibu nelayan dapat membantu suaminya memperbaiki jaring hingga pukul 10 malam, dan anak-anak mereka bisa belajar dan kerja tugas malam hari, apalagi saat ini semuanya sekolah daring," katanya.

Keberadaan PLTS membuat anak sekolah sudah dapat belajar pada malam hari di Pualu Saugi, Desa mattiro Baji, Kecamatan Liukang Tupa'biring, Kabupaten Pangkep, Sulsel. ANTARA Foto/ Suriani Mappong

Rasa Memiliki

Ketika rasa memiliki ada, tentu tekad untuk menjaga dan merawatnya juga tumbuh dengan sendirinya. Prinsip inilah yang dipegang teguh oleh sang operator PLTS di Pulau Saugi, Muh Ilham.

Meski hanya mendapat upah sebagai operator sekitar Rp500 ribu per bulan bersama dengan rekannya Muh Yusman yang turut merawat PLTS itu, dia masih dapat mengoperasikan dan merawat PLTS di Pulau Saugi.

Pekerjaannya diyakini akan menjadi ladang amal jariyah, dengan bekerja ikhlas untuk membantu warga di pulau ini tetap dapat menikmati listrik dengan harga terjangkau.

Kendati demikian, ia tidak menutup realita kebutuhan rumah tangganya bersama isteri dan seorang anak, membutuhkan biaya hidup lebih dari upah yang diterima sebagai operator.

Karena itu, Ilham mencari pekerjaan sambilan untuk menutupi biaya hidup keluarganya. Kondisi serupa juga dilakukan Yusman yang disela tugasnya turun melaut mencari kepiting rajungan.

Mengenai teknis perawatan PLTS tersebut, ia mengaku hanya mendapatkan pelatihan sekitar dua minggu di Ciracas dari Kementerian ESDM saat terpilih sebagai operator 2018.

Berbekal pelatihan itu saja, lelaki lulusan pesantren ini dengan telaten merawat semua perangkat PLTS itu, tertutama panel surya yang kerap dijatuhi sampah dedaunan ataupun kotoran burung saat melintas di atas 250 unit panel itu.

Untuk ketahanan baterei, lanjut dia, daya yang dikeluarkan harus diatur dengan baik, sehingga masih ada cadangan daya baik dalam kondisi normal maupun pada saat musim hujan.

Pada musim hujan, ketika pencahayaan matahari berkurang, terpaksa memadamkan listrik PLTS satu hingga dua hari, jika daya yang tersimpan tidak mencukupi untuk disalurkan ke masing-masing rumah tangga dengan daya 600 Wh.

Perawatan yang telaten inilah yang membedakan dengan PLTS lainnya di daerah lain yang biasanya hanya mampu bertahan setahun dinikmati warga.

Agar PLTS ini lebih berkembang dan memiliki kapasitas lebih, Kepala Bappeda Kabupaten Pangkep Abd Gaffar mengatakan, dapat dirembukkan dengan pemerintah desa dalam pengelolaannya dengan bentuk kemitraan misalnya dengan koperasi atau Bumdes.

Perubahan Sosial
Keberadaan PLTS di Pulau Saugi ini sedikit banyak telah mempengaruhi kondisi sosial warga yang mayoritas berprofesi nelayan.

Ketika listrik belum dinikmati selama 12 jam per hari, animo bersekolah dan belajar tidak setinggi saat saat ini. Dengan hanya memiliki satu fasilitas sekolah dasar dan satu PAUD, anak-anak ketika taman SD lebih memilih ikut mencari ikan dengan orang tuanya.

"Tapi sekarang seiring dengan berkembangnya informasi yang sudah mudah diakses karena ada fasilitas listrik, maka anak-anak lebih banyak melanjutkan pendidikan di ibu kota kabupaten," kata Anas yang juga adalah Ketua Badan Perwakilan Desa di Mattiro Baji.

Sementara para ibu-ibu nelayan yang biasanya hanya menyisihkan waktunya menjemur ikan yang tidak terjual menjadi ikan asin, kini sudah lebih kreatif dengan industri rumah tangga yang dikelola secara berkelompok maupun per orangan.

Hal itu dibenarkan Ketua Kelompok industri rumah tangga di Pulau Saugi, Hj Rusmiati yang memiliki 10 orang anggota.

"Kami membuat kue kering dan kerajinan tangan dari kerang-kerang, ini menjadi buah tangan bagi pengujung pulau," katanya sembari mengimbuhkan, ini dapat menambah pendapatan keluarga.

Di Pulau ini pula, terdapat usaha pengolahan kepiting rajungan untuk tujuan ekspor, sehingga nelayan di sekitarnya lebih memilih mencari kepiting rajungan dari pada ikan yang harus jauh ke tengah laut.

Pulau Saugi yang terus bergeliat ini tidak terlepas dari keberadaan listrik murah dan ramah lingkungan yang telah menjadi pelita yang akan menuntun warganya hidup lebih sejahtera kelak.

Baca juga: Rasio elektrifikasi Sulsel capai 98,7 persen
Baca juga: PLTS sangat tepat untuk kawasan perumahan

Anak-anak di Pualu Saugi, Desa mattiro Baji, Kecamatan Liukang Tupa'biring, Kabupaten Pangkep, Sulsel. belajar daring ditepi pantai untuk mencari sinyal dengan gawai yang batereinya sudah diberi daya PLTS. ANTARA Foto/ Suriani Mappong

Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020