Surabaya (ANTARA News) - "Beliau orang besar, dia memiliki jasa besar dalam demokrasi, keadilan, komitmen kepada orang kecil," kata mantan Ketua PWNU Jawa Timur, Dr. KH. Ali Maschan Moesa, MSi.
Ia mengemukakan hal itu ketika mengabarkan wafatnya mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di RSCM Jakarta pada Rabu (30/12) sekitar pukul 18.45 WIB.
"Saya kira, tidak hanya NU tapi juga bangsa Indonesia telah kehilangan tokoh besar," kata legislator FKB DPR RI itu kepada ANTARA per telepon dari Surabaya.
Agaknya, Ali Maschan tidak terlalu salah, karena menyimak Gus Dur itu ibarat membaca Nahdlatul Ulama (NU) dan meneropong Indonesia.
Hal itu karena Gus Dur tak dapat dilepaskan dari NU dan Indonesia, karena itu untuk mengetahui bagaimana NU dan Indonesia agaknya cukup bertanya kepada Gus Dur.
Paling tidak, pidato cucu pendiri NU Hadratusyeikh KH Hasyim Asy`ari itu di sepanjang tahun 2009 bertemakan NU dan Indonesia.
Intinya, Gus Dur menilai ulama NU melihat Indonesia sebagai bentuk negara yang final, sedangkan bangsa Indonesia melihat NU sebagai organisasi keagamaan yang toleran, menghargai kemanusiaan, dan cukup moderat.
Di hadapan masyarakat kecil yang awam atau kalangan terpelajar serta tokoh agama lain, mantan Ketua Umum PBNU itu kerap mencontohkan kedekatan ulama NU dengan tokoh-tokoh nasionalis.
"Misalnya, Haji Oemar Sahid Tjokroaminoto dan dua sepupunya KH Hasyim Asy`ari dan KH A Wahab Chasbullah (dua tokoh NU) sering mendiskusikan hubungan antara agama dengan negara, bahkan Soekarno juga sering terlibat dalam diskusi para tokoh itu," katanya.
Dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU berpandangan bahwa umat Islam tak berkewajiban mendirikan negara Islam.
"Sikap itu memperkuat perumusan Pancasila dan Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme adalah dasar pendirian bangsa Indonesia," kata Gus Dur.
Pemikiran semacam itu sudah lama dipidatokan Gus Dur, namun sepanjang tahun 2009 justru lebih sering dikampanyekan dalam berbagai kesempatan, apakah dalam komunitas internal NU, komunitas antaragama, atau dalam forum yang lebih luas.
Misalnya, Gus Dur penah mengumumkan Tahun Baru China (Imlek) menjadi hari libur nasional dan mencabut larangan penggunaan huruf Tionghoa.
Mozaik kehidupan mantan Ketua Umum PBNU itu juga terbaca dari usulan agar TAP MPRS Nomor XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut, sehingga timbul kontroversi.
Tidak hanya itu, Gus Dur juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, bahkan dia juga sempat tercatat dalam keanggotaan Yayasan Shimon Peres.
Barangkali, Gus Dur ingin mewariskan pendekatan pemikiran ala NU untuk melihat persoalan Indonesia yang cukup majemuk itu.
"Tanpa pemikiran yang moderat ala NU, konflik akan selaku berkembang di masyarakat yang majemuk seperti Indonesia," katanya.
Hal itu juga diakui Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Umum bidang Perdagangan dan Distribusi, Benny Soetrisno.
"Kita telah kehilangan pemimpin umat yang moderat. Semasa kepemimpinannya, beliau pernah melawat ke tujuh belas negara dan beliau menyodorkan citra Indonesia yang demokratis dan pluralis," katanya.(*)
Oleh Oleh Edy M Ya`kub
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009