Jakarta (ANTARA News) - Ketua Dewan Pimpinan Nasional Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), M Miftah Farid mengatakan sejumlah terobosan yang dilakukan Menteri Tenaga Kerja dan Trasmigrasi Muhaimin Iskandar perlu terus dilakukan sampai TKI benar-benar mendapat pelayanan dan perlidungan yang memadai.
"Terobosan yang digagas dalam 100 hari kerja pertama sebagai Menaker sudah cukup lumayan dan terobosan itu harus terus dilakukan sampai TKI benar-benar mendapat pelayanan yang adil dan perlidungan yang memadai," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.
Ia menjelaskan, revitalisasi Balai Latihan Kerja untuk penyiapan TKI, sertifikasi TKI, penutupan debarkasi ilegal bagi TKI, pembentukan satgas TKI dan kewajiban asuransi bagi TKI, merupakan terobosan yang momentumnya tidak boleh berhenti karena masih hal lain yang harus dibenahi.
"Terobosan itu harus terus dikawal agar bisa berjalan efektif , karena selama ini memang banyak yang harus dibenahi dan saya yakin Menaker juga tahu hal itu. . Kami akan terus memberikan dorongan kepada Muhaimin untuk melakukan terobosan baru," katanya.
Beberapa hal yang perlu dibenahi menurut Miftah adalah, koordinasi antar instansi dan lembaga yang menangani TKI, standarisasi biaya penempatan, dan pembayaran klaim asuransi.
"Ada 21 instansi yang menangani TKI dan Menaker harus mampu mengkoordinasikan pembagian tugas yang jelas dan tegas. Harus ada terobosan untuk membagi soal penyiapan SDM, penempatan TKI dan perlindungan mereka selama bekerja," katanya.
Ia mengusulkan, Pemerintah bertugas menyiapkan SDM TKI antara lain melalui BLK yang sudah direvitalisasi sekaligus dilakukan sertifikasi bagi calon TKI.
"Tugas penyiapan SDM jangan menjadi beban PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja) karena selama ini hal itu dijadikan alasan bagi PJTKI untuk menyekap calon TKI di tempat penampungan," katanya.
Sesuai amanat UUD 1945, menurut Miftah, maka pendidikan bagi calon TKI merupakan tugas Pemerintah, sementara PJTKI hanya bertugas sebagai perusahaan yang menempatan TKI sesuai sertifikasi yang mereka miliki.
Terkait penempatan itu juga, menurut Miftah, perlu ada terobosan seperti perlunya standarisasi biaya penempatan ke sejumlah negara sehingga PJKTI tidak seenaknya membuat komponen biaya yang memberatkan TKI dan terkesan ekploitatif.
Ia mencontohkan, buruh migran dari negara lain di Hongkong tidak ada yang sampai dipotong gajinya lebih dari tujuh bulan, tetapi TKI justru dipotong lebih banyak karena biaya penempatan dibuat sepihak.
"Saat ini ada aturan Pemerintah Hongkong bahwa potongan buruh migran hanya dibolehkan maksimal 10 persen dari upah yang diterima. Ini tentu dimaksudkan agar buruh migran mempunyai kesejahteraan yang lebih baik," katanya.
Selain itu, menurut Miftah, soal klaim asuransi bagi TKI juga harus jelas siapa yang berwenang menangani hal itu karena banyak kasus masyarakat bingung harus kemana mengurus klaim asuransi ini.
"Menaker perlu membuat kebijakan soal klaim ini karena ada ketentuan jika selama 30 hari tidak diurus maka uang klaim itu akan hilang," tegasnya.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009